Dok|Internet |
Melihat kekerasan yang terjadi di Rohingya pasti merasakan kesakitan mendalam, orang-orang yang tidak bersalah dan berdosa dibunuh, mengungsi dari tanah kelahiran, dan mendapatkan perlakuan yang diluar nalar manusia. Kepedihan dan kesengsaraan sangat terlihat ketika melihat salah satu warga Rohingya yang mengungsi di Banglades hanya memakai plastik sebagai alat untuk melindungi diri dari derasnya hujan.
Kasus yang serupa pernah terjadi di Indonesia bagian timur –Papua pada masa kepemerintahan Abdur Rahman Wahid, namun karena Pemikiran Gus Dur yang telah mendamaikan Papua pada saat Papuan ingin menjadi megara, tetapi pamikiran Gus Dur tentang pentingnya menghargai dan mengormati penduduk Papua yang sesuai terhadap masyarakat Papua. Pemikiran tersebuat mendapatkan anugerah besar terhadapnya, karena dapat menentramkan masyarakat Papuan dari deklarasi negara Papua atau bendera bintang gejora. Pemikiran Gus Dur yang sesuai dengan menggunakan pendekatan kultural.
Menurut Yeni Wahid di Courtesy You Tube mengatakan Rohingya, nama Rohingya merupakan nama yang tabu, pemerintah Myanmar tidak memperbolehkan semua orang memakai nama Rohingya. Bahkan masyarakat internasional dikecam oleh mereka ketika menggunakan kata Rohingya, buat mereka ini adalah benggali. Dulu (di Indonesia) kata Papua juga kata yang tabu, orang menyebut kata Papua, itu bisa masuk penjara. Nah, namun bagi orang Papua, nama Papua adalah identitas dirinya, kebanggaan dirinya. Karena itu Gus Dur kemudian orang Papua diberikan hak untuk menggunakan namanya kembali.
Pernyataan Yeni Wahid tidak serta merta mengatkan kalau kasus di Myanmar merupakan kasus yang serupa dengan Indonesia, ketika melihat kaum yang minoritas juga ingin mendapatkan kedudukan yang sepadan dengan masyarakat Myanmar. Masyarakat Rohingya juga ingin mendapatkan pengakuan yang sah dari pemerintakan Myanmar sebagai penduduk asli. Pengakuan dari Myanmar suatu matahari yang di tunggu-tunggu oleh penduduk Rohingya, karena selama ini belum mendapatkan kenyamanan dan ketentraman.
Bukan tidak mungkin ketika memahami pemikiran Gus Dur, Myanmar tidak ada seperti saat ini. Seandainya sikap seperti Gus Dur atau pemikirannya digunakan di Rohignya tentu tidak akan menyebabkan malapetaka negara. Sedangkan pengertian kultural menurut Gus Dur adalah keseimbangan kekuatan negara dan masyarakat untuk melahirkan bangsa yang berbudaya mutlak harus diupayakan, dan keseimbangan itu barulah tercipta ketika negara telah benar-benar meletakkan tanggung jawab dan wewenang di atas pundak masyarakat.
Mengingat pernyataan Gus Dur diatas sangatlah menyentuh seandainya segenap penduduk Myanmar menjaga budaya yang ada di Myanmar, tanpa harus mengusir penduduk Rohingya dari tanah kelahirannya. Masyarakat dan negara sangat berperan penting agar terciptanya negara yang berkultural dan tidak ada lagi sifat deskriminasi terhadap masyarakat minoritas di Myanmar.
0 Komentar