Dok|Internet |
Kehidupan warga Rohingya terlunta-lunta, masih membutuhkan pertolongan, bahkan pertolongan ini semakin besar, baik dari negara tetangga, seperti Singapura, Banglades, Indonesia, dan negara ASEAN. Kehidupan warga Rohingya sudah bebera pabulan ini tidak memperoleh kenyamanan dan ketentraman sabagai mana penduduk lainnya di Myanmar. Meskipun pertolongan masih diberikan oleh negara-negara tetangga, warga Rohingya masih menjalani hari dalam kabut duka dan ketidaknyamanan, setiap waktu dilaporkan, korban selalu bertambah.
Minggu 10 September surat kabar Harian Pagi Surya menyajikan data korban warga Rohingya dan militer Myanmar yang memiliki dua versi. Versi pertama dari PBB (PersatuanBangsa-Bangsa) korban tewas seribu orang lebih yang terdiri dari pemberontak Rohingya dan militer Myanmar. Sedangkan vesi kedua dari pemerintakan Myanmar korban tewas empat ratus dua orang, yang terdiri dari lima belas anggota militer Myanmar dan tiga puluh warga sipil.
Kekerasan yang terjadi di Rakhine telah mengundang bermacam kecaman dan berbagai protes terhadap Myanmar, salah satu negara yang memprotes adalah Indonesia. Para aktivis pemuda dan masyarakat peduli Myanmar melakukan demontrasi di berbagai jantung kota dengan menuliskan kata-kata kemanusiaan. Salah satu, contohnya di Bangkalan, tepat malam Minggu 8 September 2017, para aktivis para aktivis yang bergabung dari bermacam organisasi bersatu padu mendemontrasikan rasa simpati dan empati atas rasa kemanusiaan yang di isi dengan orasi kemanusiaan terus pembacaan doa-doa untuk Rohingya.
Selain itu, masyarakat Rohingya mendapatkan kekerasan di tanah kelahirannya serta mengungsi ke negara tetangga, pada saat para pengungsi Rohingya di perbatasan Myanmar-Banglades warga mengalami keadaan yang buruk, seperti muntah-muntah dan kelelahan. Merasakan kejadian yang dialami Rohingya saat pengungsi melewati perbatas Myanmar-Banglades melalui kawat yang tajam.
Disamping itu konflik Rohingya dapat diasumsikan karena kasus politik dan egoisme agama. Ketika melihat gambar seorang ayah memikul kedua putranya dengan ember pada saat tiba di Shah Porir Dwip, Teknaf, Banglades membuat hati terpanggil atas nama kemanusiaan. Apakah peristiwa Rohingya karena politik atau egoisme agama yang pernah terjadi di sampang, Madura?.
Diantara konfilik yang terjadi di Myanmar tidak lagi memperdulikan rasa kemanusiaan yang selalu menghargai bermacam-macam perbedaan. Saat sifat menghargai sudah tidak diaplikasikan, maka tinggallah kehancuran, Helvy Tiana Rosa mengatakan, kemanusiaan itu tak mengenal batas Negara dan agama, ia tumbuh dari keajaiban nuranimu tanpa sekat, tanpa musim.
Konflik di Myanmar merupakan gambaran tidak sesuai dengan pernyataan diatas, sebagai manusia haruslah memahami dan mengamalkan arti kemanusiaan sesuai undang-undang yang ada. Namun, kenyataan yang terjadi di Myanmar bertolak belakang. Atau intuisi penduduk Myanmar sudah mati, tidak digunakan lagi, seandainya masih ada intuisinya, pasti Rohingya tidak seperti nasib negara Palestina.
0 Komentar