Dok|Pemerhati Bahasa |
Memandang langit sudah mendung, biasalah bulan November adalah rumah bagi hujan atau rinai dalam puisi pujangga. Hari Sabtu, 2 Noverber 2019 awal aku merasakan, menikmati, melihat, dan diterpa hujan. Aku seakan raja di tengah rintik dari langit, menerobos tanpa khawatir kepada apa yang akan terjadi.
Dari arah kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, mendung sudah lebat, gerimis satu dua sudah berjatuhan. Setiap tetesan air hujan memiliki harapan dan tersimpan doa-doa manusia. Kalau aku hanya ingin, bermain dengan hujan, berlari kecil menyusuri jalan.
Dalam perjalanan, gerimis semakin banyak berjatuhan, tepat di samping Kebun Binatang Surabaya, aku lihat di pinggir jalan banyak pengguna sepeda berteduh dan berhenti memakai jaz hujan. Selain itu, ada yang kecelakaan yang terjatuh karena jalan yang licin. Aku kasihan kepada yang terguling sampai ke trotoar dekat Perpustakaan Bank Indonesia. Dalam hatiku berbicara, kalau hujan pertama kalinya harus hati-hati dan selalu membawa jaz hujan.
Saat itu, aku naik Ojek Online, gara-gara telat bangun tidur, takut telat kalau bawa sepeda sendiri, selain itu, menghindari oprazi zebra Surabaya. Aku menerobos, meminta kepada Pak Purwanto jangan berhenti, karena sudah hampir sampai di Loop Station dekat taman Bungkul.
"Mas Maaf iya tidak bawa jaz hujan," tutur Pak Purwanto.
"Enggeh tidak apa-apa pak, kan hampir sampai, tetapi bapak nanti kasihan." Ucapku kepada Pak Purwanto. Sedikit obrolan tidak penting. Setelah itu, Aku perhatikan kembali suasana arus jalan, semua pengemudi terlihat tergesah-gesah takut kehujanan.
Sampai di lokasi pertemuan perdana dengan teman-teman Pemerhati Bahasa Surabaya. Aku dengar dan membaca daftar hadir anggota Pemerhati Bahasa Surabaya dari berbagai kampus di Surabaya, ITS, UPN, UMS, UNESA, UNAIR, UINSA dan banyak lagi.
Pertemuan pertama, memisahkan aku dengan hujan. Hujan pertama bulan November, tidak bisa menikmati, melihat rintik hujan, air tergenang di jalan, orang-orang berteduh, lalu lalang sepeda dan mobil.
Namun setiap sesuatu ada pengorbanannya, aku lebih menikmati bersama teman-teman Pemerhati Bahasa Surabaya, merelakan hujan tanpa aku mencatat beberapa cerita di jalanan atau membuat beberapa puisi indah untuk siapa aja. Hujan ini, akan terkenang dengan indah dalam lembaran atau catatan, karena dalam buku Filosofi Teras, Sang Filosof menjaga kekuatan jiwanya dengan mencatat setiap momen kehidupannya.
0 Komentar