Aktivis Kampus Tradisikan Baca, Nulis dan Diskusi

Dok|LPM al-Millah

Aktivis kampus adalah mahasiswa yang memiliki segudang rutinitas, membaca, menulis, berdiskusi dan lain sebagainya. Aktivis kampus selalu menjadi garda terdepan dalam segala lini, baik akademis ataupun non akademis (organisasi), karena memiliki cakrawala pengetahuan yang luas dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Terus Bagaimana dengan saat ini?


Dalam catatan kehidupan aktivis kampus, mereka yang tidak pernah lupa membaca buku, menulis kejadian-kejadian sosial, berdiskusi setiap hari sampai-sampai saking menikmati tidak ingat makan dan tidur. Selain itu, aktivis kampus lebih sering menghabiskan waktu di kampus guna membahas pergolakan kehidupan negara.


Kalau melihat aktivis kampus dalam sejarah Indonesia, seperti Soe Ho Gie contohnya, dia suka membaca, menulis dan berdiskusi dengan teman-teman. Dari buku-bukunya, Catatan Demonstran adalah bukti kalau aktivis kampus dahulu memiliki daya kritisnya mendalam.


Menjadi aktivis kampus merupakan sebuah pilihan bagi mahasiswa, karena akan menyita waktu kuliahnya. Najwa Shihab mengatakan saat mengisi Seminar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, “Mencarilah jaringan seluas-luasnya, carilah teman beda latar belakang budaya dan fakultas”. Pengalaman organisasi akan menambah wawasan dan salah satu kuncinya adalah bergabung dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. 


Selain hal tersebut, kesuksesan seseorang tidak ditentukan atau dapat diukur secara akademis, kuliah bukan hanya untuk mendapatkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang tinggi. Perlu dipahami juga, IPK tinggi itu penting. Tetapi tidak semua kesuksesan dapat diukur dari IPK yang tinngi. 


Setelah sekian tahun berlalu, aktivis kampus yang terkenal gemar membaca, menulis, berdiskusi dan lain sebaginya. Sekarang kemungkinan besar mengalami pergeseran makna tidak seperti dahulu. 


Tidak ada lagi buku ditangan mereka, tidak ada lagi jari menulis dan tidak ada lagi ucapan yang berisi. Sebab sebutan aktivis kampus hanya untuk sikap berwibawa semata. Namun, untuk membaca malas, menulis kesulitan dan berdiskusipun hanya soal-soal kehidupan pribadi dan yang menjadi kebiasaannya hanya sekadar nongkrong di warung Kopi berjam-jam, hura-hura bersama teman-teman sesama organisasinya dan mereka tidak suka berdiskusi ataupun pergi ke acara-acara keilmuan. 


Mirisnya lagi, Sebutan Aktivis Kampus hanya digunakan sebagai modal untuk mencari perempuan yang bisa dijadikan pacarnya, dianggap orang yang serba tau atau dianggap “senior” dan menjadi jalan untuk menduduki posisi strategis di kampus.


Karena hanya bermodal ingin memiliki nama basar, Aktivis kampus di era sekarang ini tidak bisa memecahkan masalah secara mandiri. Kurangnya budaya baca, menulis dan diskusi menjadikan merek tumpul nalar pikiranya. Sehingga untuk beradaptasi dan berkreasi dengan lingkungan masih membabi buta pada budaya lama.


Selain kurangnya kesadaran dalam dirinya, mereka tidak suka berdiskusi yang mereka bicarakan hanyalah bagaimana cara agar kegiatan yang diadakan bisa lancar dan menghasilkan manfaat terhadap dirinya. Mereka hanya mencari untung dan nyaman. Terus sebagai aktivis kampus bagaimana kelanjutan hidup saat lulus dari bangku kuliah. 


Bermodal sejarah pernah menjadi Aktivis Kampus, tapi untuk berpikir dan menganalisis kejadian dimasyarakat saja tidak bisa. Buat apa menjadi aktivis jika tidak mau membaca, menulis dan berdiksusi.


Seperti apa yang dikatakan Jhon Roy P Siregar, sebagai mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di era pasca reformasi, aktivis mahasiswa sekarang malas membaca, menulis serta berdiskusi secara kritis sudah hilang.


Jadi, jangan pernah mengaku-ngaku menjadi aktivis kampus tapi tidak mentradisiskan membaca, menulis dan berdiskusi, itu semua sia-sia. Apalagi sampai mengajak Mahasiswa lain untuk menjadi aktivis, tanpa meningkatkan kesadarannya sendiri. Hal ini hanya menjadi sebuah ajakan yang hambar kalau dirinya belum benar-benar memiliki jiwa-jiwa keaktivisan sesungguhnya.

Posting Komentar

0 Komentar