Sketsa KKN Nusantara 3T: Bertemu Indonesia di Nusa Tenggara Timur

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama setelah acara penyambutan dengan Kepala Desa dan Aparatur Desa Pariti.

“Setelah kakak mahasiswa KKN Nusantara 3T datang kesini, akhirnya saya tahu Muslim di Jawa yang mayoritas, bukan Muslim yang keras. Bukan seperti yang ada di televesi atau di YouTube. Terima kasih kepada kakak mahasiswa KKN Nusantara, telah memberikan cinta kasih bagi sesama, tanpa memandang suku, agama, kaya, dan miskin. Jadilah yang terbaik, jadilah pembawa damai bagi semua, tanpa harus sama,” tutur Sorks Stefanus Pellokila dengan senyum sendu kepada kami sebelum pulang ketempat daerah masing-masing.

Pernyataan yang dilontarkan sekretaris desa kepadaku dan teman-teman KKN Nusantara 3T saat izin pulang. Lewat tutur kata temanku, aku mendapatkan kata-kata indah yang selama ini belum pernah aku mendengarkan dari umat Kristen kepadaku, selaku orang Muslim. KKN Nusantara yang digagas oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia terhadap mahasiswa-mahasiswa Se-Indonesia untuk belajar di Nusa Tenggara Timur. Menjadi pelangi dalam kehidupan dan masa depan.

Gambaran umum tentang KKN Nusantara 3T yang disajikan di Term of Reference oleh Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) memiliki komitmen dibidang pengabdian kepada masyarakat, yang hal itu diharapkan untuk dapat berkontribusi secara konkret untuk mendesiminasi dan mendampingi masyarakat terkait dengan moderasi beragama. Menurut sejumlah riset, hampir semua lini masyarakat kini telah mulai terpapar dengan radikalisme beragama. Untuk itu, Perguruan Tinggi Keagaman Islam (PTKI) diminta secara proaktif dan ofensif untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat agar memiliki pandangan dan sikap moderat dalam beragama, terutama melalui program-program pengabdian Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama kelompok 5 Desa Pariti saat selesai pembekalan KKN.

Gambaran diatas mungkin mewakili terkait pelaksanaan KKN Nusantara 3T. Adapun tema yang diangkat adalah peace building di NTT, KKN Nusantara 3T dalam rangka membangun relasi horisontal antar komponen masyarakat, agar damai bersendikan multikulturalisme. Untuk itu, aku memiliki kesempatan belajaran tentang tolerasi, sikap, ucapan, dan pemahaman toleransi langsung di Desa Pariti, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur kurang lebih 41 hari, sejak awal bulan Januari-Februari 2020.

Satu Atap Beda Agama

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama di kediaman Kepala Desa Pariti.

Ketika aku menginjakkan kaki di Pariti, tempat hidup selama satu bulan lebih, ada rasa takut yang sangat besar. Takut yang tidak biasa dirasakan, karena takut ini menyangkut hidup dan matiku di lokasi KKN Nusantara. Yang seharusnya menjalani KKN fokus terhadap pengabdian dan pempelajari tentang nilai-nilai kehidupan.

Tidak pernah aku membayangkan, akan hidup satu atap dengan orang berbeda agama, kalau cuman satu hari mungkin rasanya biasa, tetapi aku akan hidup dengan orang Kristen dalam jangka waktu satu bulan lebih. Hidup selama KKN Nusantara tidak biasa aku bayangkan, menjadi minoritas dalam agama, merupakan sesuatu tidak pernah aku alami selama hidup di Pulau Jawa dan tidak pernah merasakan menjadi minoritas, apalagi aku adalah orang Madura, mayoritas beragama Islam.

Tidak hanya itu, berada dalam satu keluarga dengan beda agama merupakan kecelakaan yang luar biasa. Ditambah anjing besar menjadi peliharaan rumah yang aku tempati. Anjing ketika aku datang, duduk dikursi menghapiriku dan teman-teman yang lain. Dikatakan beban, bisa dikatan, dan dikatakan ujian biasa dikatakan seperti itu. Sebab untuk pertama kalinya hidup satu rumah dengan orang berbeda agama.

Sebagai pelengkap dari warna-warni hewan yang ada di Pariti, babi juga banyak dijumpai di rumah-rumah penduduk. Karena Pariti mayoritas non-Muslim, hanya beberapa yang beragama Islam. Yang aku takutkan hidup satu atap sama orang Kristen, tetapi karena beda pola kehidupannya, tentunya berbeda dengan agama Islam cara kehidupannya.

Meskipun satu atap dengan orang Kristen, kebetulan rumah yang aku tempati selama KKN Nusantara adalah rumah kepala desa Pariti, Melkior Y. Radja. Kepala desa memiliki sebutan yang berbeda dari daerah asalku, aku memangggil Papa Desa. Itulah semua panggilan yang sering aku tuturkan. Bahkan aku dan teman-teman sudah dianggap menjadi anak sendiri.

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama dengan Papa Desa dan Mama Desa.

Papa Desa ternyata berbeda dengan apa yang aku khawatirkan, aku beranggapan akan susah hidup satu atap dengan non-Muslim, tetapi aku baru sadar, anggapan dan rasa takut yang dirasakan bertolak belakang. Meskipun orang-orang Pariti khsususnya keras-keras, tetapi mereka sangat sayang terhadap kami. Bahkan Papa Desa rela tidak memasak babi selama aku dan teman-teman berada di Pariti. Biasanya rumah yang aku tempati setiap hari memperoleh kiriman daging babi, karena Papa Desa sudah berjanji tidak akan menerima dan memasaknya.

Sedangkan ajing yang biasa menghampiri ketika dilihat olah masyarakat atau Papa Desa dan keluarganya, selalu dihalangi selama diketahui oleh mereka. Terkadang aku juga diingatkan untuk salat, meskipun tidak selalu diingatkan. Aku paham mereka tidak terlalu hafal dengan jadwal salat lima waktu, mereka mayoritas tahu salat Jumat. 

Toleransi di Gereja Pariti

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama setelah ibadah hari Minggu dengan Romo Gereja.

Suara lonceng bertalu-talu, sudah beberapa kali lonceng terdengar dari gereja Yakhin Pariti, gereja terbesar di kecamatan Sulamu. Minggu lalu aku dan teman-teman menyaksikan umat Kristen Khatolik beribadah hari minggu. Untuk jadwal sekarang sesuai rapat pertama setiap minggu menyaksikan orang-orang Pariti beribadah, pergi ke gereja Santu Petrus Pariti yang berada di dusun 3.

Ketika berangkat ke Gereja Santu Petrus Pariti, pikiranku terusik karena sudah tiga minggu tidak pernah ke masjid di desa tetangga Oeteta, sekitar 1 kilo miter perjalanan. Azanpun sangat langkah ketika berkumandang, rindu rumah di desa Kajjan, kecamatan Blega, kabupaten Bangkalan dan kota Surabaya yang setiap 24 jam pasti mendengarkan azan dimana-mana. Kendala awal-awal singgah di Pariti karena tidak tahu dimana masjid terdekat di Pariti.

“Di kelurahan Sulamu, masjid cuman ada dua, satu di desa Oeteta dan kedua di kelurahan Sulamu.” Tutur Sekretaris Desa Pariti saat awal-awal pertemuan di balai desa Pariti.

Sedangkan alasan kedua karena cuaca tidak mendukung. Saat kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki diterpa hujan, kami berteduh sampai hujan reda, karena hujan tidak reda sampai jam duabelas lebih, kami putuskan untuk kembali lagi ke posko perempuan KKN Nusantara. Meskipun rintik hujan masih merakayakan pestanya, tetapi kami harus kembali ke tempat KKN agar cepat-cepat mengatur ulang beberapa agenda.

Untuk ketiga kalinya, aku dan teman-teman tidak ke masjid karena ke kota Kupang, silaturahmi ke keluarga kepala desa. Lengkap sudah kealpaan salat Jumat, ketika itu aku berpikir, jika ke gereja semangat sekali, bahkan tiga minggu berturut-turut menyaksikan orang Krtisten melaksanakan ibadah mingguan. Namun, itu semua karena diluar kendali, jadi kami tetap bersyukur, apalagi mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari pihak gereja.

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto bersama ketika acara besar para Pendeta se-kecamatan Sulamu.

Suara lonceng dan lagu-lagu dinyanyikan, aku tidak tahu secara jelas apa yang mereka nyanyikan, yang jelas apa yang dilakukan umat Kristen adalah serangkaain ibadah. Jadi aku tidak boleh mengikutinya, cukup menyaksikan apa yang dilakukan umat Kristen. Dari pembukaan dengan ritual pengantaran romo pendeta ke tempat ibadah, diiringi oleh anak-anak yang berpakain hijau putih.

Asap terlihat bergulung-gulung setiap langkah anak-anak yang membawa semacam wadah yang digantung dengan rantai kecil diletakkan di tangan. Iringan lagu diserta, kami yang ikut berdiri sebagai pembukaan. Kedatangan kami, sebagai pembuka semai-semai toleransi yang kami bawa nanti ke tanah kelahiran masing-masing. 

Kupang: Agama Bukan Alasan

Dok| Arafat: Foto ketika di Otto atau mobil saat mau berangkat ke Kupang.

Januari adalah bulan hujan di Pariti, setiap Minggu pagi selalu nyaman untuk kembali lagi ke tempat tidur, melanjutkan kembali yang terputus dari mimpi. Hujan dengan rintiknya sedikit menghalangi aku dan teman-temanku pergi ke Kupang. Tujuan ke Kupang adalah untuk belanja, jalan-jalan, dan singgah disalah satu Pantai di kupang.

Perjalanan dari Pariti ke Kupang mengabiskan waktu dua jam kurang lebih. Ke Kupang menggunakan mobil carry yang berisi sembilan belas orang, sangat menyiksa sebagian teman-teman yang tidak mendapati porsi tempat duduk, terpaksa duduk dipalang belakang dengan sandal supaya tidak sakit. Lagu-lagu berbahasa Kupang sebagai teman dalam perjalanan, meskipun aku tidak mengetahui artinya secara rinci, cukup paham inti dari lagu itu apa.

Musik yang hampir sama dengan dangdut, bedanya kalau musik orang Kupang lebih keras dan hampir seperti lagu-lagu di diskotik. Akupun berjoget sedikit demi sedikit, agar tidak memikirkan kondisi kendaraan yang aku naiki. Candaan dan pemandangan cukuplah menjadi obat, setidaknya tidak mengeluh dan marah-marah karena kondisi tempat yang kapasitas terlalu banyak. Apalagi hujan membuat kami sedikit terkenak tempiasnya, pakaian sedikit basah dan keringat mulai banyak.

Dalam perjalanan ini, aku melihat gunung yang tinggi, kantor bupati, gedung-gedung dinas pemerintah, pasar, dan kejadian-kajadian sosial yang menarik untuk diperhatikan,. Seperti orang berjualan, berbelanja, tawar-menawar, kendaraan, dan toka-toko berjejer disetiap pinggir jalan. Mobil warna hitam tetap melaju dengan kencang, bapak kepala desa yang mengemudi dengan lancar. Yang membuat kami bahagia hujan reda dan sinar matahari menyinari, terutama penutup mobil dibuka, anginpun mengobati capek dan kesal dalam perjalanan.

Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata sampai juga, karena lewat jalur darat dari Pariti ke kupang jadi membutuhkan waktu dua jam, kalau lewat jalur laut, paling tidak sampai tigapuluh menit. Rumah yang sederhana dari rumah-rumah disampingnya, kami disambut dengan hangat dan sangat ramah ketika masuk ke halaman rumah. Meskipun aku dan teman-teman beragama Islam, tetapi kami diterima dengan terbuka, senyum mereka sangat bahagia ketika kami datang.

Tidak menunggu waktu lama, kami istirahat duduk di bawah pohon, selingan diskusi seperti keluarga yang tidak pernah bertemu bertahun-tahun. Tawa, senyum, canda dan tawa kami semua menjadi satu, agama bukan menjadi alasan untuk saling menjaga jarak, bahkan agama adalah jembatan untuk kita saling berbagi bersama. 

Setelah kami istirahat dengan cukup, kami dihidangkan makan sebagai penganjal perut kami yang sudah meronta-ronta. Persinggahan ini, bukan sekadar perjalaan, tetapi terasi mengunjungi keluarga jauh dari pulau-pulau kami. Makan bersama mereka, ikan tongkol, tempe, dan menu-menu yang lain, lahap dimakan bersama. Terutama obrolan bersama Kak Rey yang komunikatif sekali, mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana) jurusan hukum menjadi latar belakang pembicaraan. Tidak hanya itu, Kak Rey juga menjadi pemanas yang sedang kami lakukan, biasa saling jodoh-jodohan.

Meskipun matahari bisa dikatakan panas, selesai makan bersama kami sepuluh pemuda siap menjalahi kota Kupang, Kak Rey, Arafat, Mahatir, Eko, Haris, Fina, Yuri, Wiwin, dan Tika. Kami sepuluh pemuda siap mengikuti jalan-jalan yang dipandu oleh Kak Rey. Perjalanan kali ini, aku rasa lebih seru dan sangat membahagiakan, kami bebas melupakan ekspresi kami masing-masing, sambil nyanyi-nyanyi, tertawa, bercanda, dan melihat pemandangan laut yang terbentang dari jalan raya menjadi kesenangan tersendiri aku rasakan. Jadi teringat, pesan senior di Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi, tidak apa-apa tidak lulus semester tujuh, kalau bisa ke Nusa Tenggara Timur. Kurang lebih seperti itu pesan yang aku dapat.

Dok|Rey: Foto di halaman gedung Wali Kota Kupang.

Perjalanan pertama kami ke Kantor Wali Kota Kupang. Sebelum masuk ke Kantor Wali Kota Kupang, Kak Rey meminta izin terlebih dahulu. Untuk pertama kalinya aku bisa menginjakkan kaki di Kantor Wali Kota Kupang, aku edarkan pandangan, kantor yang dikelilingi jalan raya, gedung yang berundak tiga, mulai paling besar sampai paling kecil menyerupai setengah bola.

Kak Rey yang beragama Kristen terlalu baik kalau kepada kami yang tidak pernah berjumpa sebelumnya. Ia tidak membedakan agama yang kami yakini, dia hanya memandang kami sebagai tamu yang harus dihargai, dihormati, dan disayangi, sekali lagi, agama bukan alasan untuk kita tidak berbagi. Bahkan bisa dibilang, kami menjadi adik-adiknya yang baru, menjadi saudara dan diangkat menjadi Marga Radja.

Angin sepoi-sepoi menemani perjalanan kedua kami ke Museum Nusa Tenggara Timur, tetapi karena waktu terlalu sore, jadi museum yang kami ingin kunjungi ditutup. Inginnya mengetahui suku yang ada di NTT, wisata terbaik NTT, dan bermacam sejarah NTT tidak jadi. Otomatis perjalanan selanjutnya ke Kantor Gubenur Nusa Tenggara Timur yang menyerupaa alat musik sasando.

Dok|Rey: Foto di depan Gedung Gubernur NTT.

Perjalanan kali ini sangat berarti, salah satunya karena berjalan dengan orang asli Kupang. Setelah Kak Rey meminta izin, kami spontan tidak sabar mengabadikan diri di depan gedung yang berwarna biru dan putih. Sasando adalah alat musik dawai yang berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Untuk makna sasando berasala dari bahasa Rote, sasandu sandu-sanu yang memiliki arti bergetar atau meronta.

Aku berdiri memandang lurus, memperkuat keyakinan terhadap mimpi-mimpi yang aku impikan. Berdiri di depan gedung, menutup mata, mengenang beberapa kenangan yang aku jalani selama menjadi mahasiswa. Kenangan tentang perjalanan selama ini, yang memberikan pelajaran besar dan berharga. Untuk saat ini, Kantor Gubenur Nusa Tenggara Timur menjadi saksi kalau aku pernah mengutarakan mimpi-mimpiku nanti dimasa depan.

Melihat teman-teman yang sibuk mengabadikan diri, aku tertawa dan bahagia, apalagi Kak Rey siap menjadi fotografer. Aku terasa berada di luar negeri, gedung di depanku menjadi icon, tidak seperti ibu kota Jakarta yang hanya tinggi tanpa nilai seni yang memandai. Jangan cepat-cepat berlalu hari ini.

Dok|KKN Nusantara 3T: Foto saat diskusi.

Matahari sudah tergelincir di ufuk barat, waktu kami menikmati senja di salah satu pantai di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tujuan terakhir perjalanan hari ini adalah pantai, melepaskan rindu, kenangan, kesedihan, kekecewaan, kesendirian, kepedihan, kebencian, dan apa yang pernah aku rasakan selama ini. Pantai Nunsui, Kupang, Nusa Tenggara Timur adalah kerinduan yang menjadi daftar kenangan nanti setelah tua.

Di bawah gasibo berbetuk segi empat, diatas atap mengerucut seperti segi lima. Di gasibo kami berdiskusi tentang cinta, pengkhianatan, pengorbanan, perjuangan, dan kekecewaan. Tema cinta kali ini mungkin lebih baik dan cocok menyambut senja. Aku bersyukur ditunjuk jadi moderator diskusi dengan tema “CINTA”. Terkadang aku tidak suka membahas cinta dengan terlalu banyak orang.
“Ketika laki-laki mengatakan cinta, dan perempuan meminta waktu untuk menjawabnya, itu berarti fase-fase laki-laki harus berjuang mendapatkan hati perempuan. Jangan hanya menunggu waktu yang telah ditentukan,” tutuk Kak Rey kepada kami dengan raut muka bersemangat sekali.

“Jadi waktu sebelum dijawab oleh perempuan kita harus berjuang sebagai tanda kalau kita serius,” ucapku kepada teman-teman dan Kak Rey yang mengiyakan.

“Tapi kalau laki-laki itu ketika melihat perempaun yang lebih cantik pansti suka terhadapnya atau meliriknya. Sedangkan perempuan, meskipun pacarnya sederhana tetap setia,” sanggah Tika, kenapa perempuan kalau masih memikirkan pernyataan cinta dari laki-laki.

“Tapi bedakan antara suka, cinta dan sayang,” kata Arafat sedikit tersenyum.
Diskusi kali ini, tema cinta memang seru sekali, disaji dengan minuman es kelapa dan pisang goreng dipadu dengan caos. Sedikit demi sedikit senja mulai membuka tabir kemerah-merahanya. Terlihat dari arah gasibo Sulamu, Pitay, Pantai Beringin, Pariti, Oeteta, Bipolo dan desa-deasa yang bersebelahan dengan kota Kupang, seperti gunung yang menjulang, didalamnya berada kehidupan masyakarat desa Kupang.

"Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini".






Posting Komentar

4 Komentar

  1. Mantap kakak. Seharusnya pantai beringin juga harus berjalan jalan sudah. Bukan hanya fokus pada aset hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hamdalah kakak.
      Terima kasih sudah mampir ke blog kedaidiksi sebelumnya.

      Tidak kaka, setiap kegiatan atau agenda yang diprioritaskan itu baik kok kakak. Kelompok Pantai Beringin keren-keren kok. 😊😊😊

      Hapus
  2. Cerita Dan pengalamannya sangat seru dan menarik kak👏👏👏 rasa-rasanya saya juga tertarik dengan program KKN Nusantara itu 😎😎🤩

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini kakak.

      Saya berayukur kak bisa terpilih dan mendapatkan kesempatan belajar dan hidup toleransi di NTT.

      Semangat kak

      Hapus