Dok | Pribadi |
“Nyatanya rumah bukan perihal bangunan beratap beralas lantai, melainkan tempat dimana kita dapat marasa pulang.” (Abdillah Theofany Farozdaq)
Sebagai anak rantau, tentu bukan hanya kampung halaman sebagai rumah, bukan hanya keluarga yang sedarah tempat berpulang, dan bukan hanya kedua orang tua tempat paling hangat. Semakin beranjak dewasa, definisi setiap sesuatu, semakin luas dan nyatanya setiap waktu definisi selalu berubah, tergantung apa dan bagaimana perjalanan kehidupan dijumpai. Bukan melupakan, menomor duakan, dan menganggap kedua orang tua dan keluarga sebagai tempat tidak terlalu hangat untuk berpulang, bercerita, dan bereluh kesah. Tetapi sebagai anak rantau memiliki mozaik-mozaik tersendiri, untuk keluarga dan orang-orang yang dijumpai di tanah rantau.
Sudah
tujuh tahun kurang lebih jauh dari tanah kelahiran, menjadi anak rantau
keputusan yang diambil demi pendidikan. Untuk saat ini masih tercatat sebagai
salah satu mahasiswa Pascasarjana di UIN Sunan Ampel Surabaya. Masih teringat
jelas, mata kuliah Psikologi Pendidikan di pertemua kedua, tepat pada tanggal
21 Maret 2023 melakukan sebuah rangkaian proses kesedaran. Dengan panduan Ustaz
Agus, saya melakukan proses mengenang perjalanan kehidupan, terutama tentang
kehangantan dari masa lalu-keluarga ibu dan bapak.
Dari
proses tersebut, aku mengingat perjalanan selama di Kota Pahlawan, terutama
proses pendidikan di almamater UIN Sunan Amapel Surabaya. Ada banyak momen yang
saya lewatkan dan membantu untuk bertumbuh dan berproses menjadi manusia. Lewat
organisasi-organisasi, komunita-komunitas, pelatihan-pelatihan, dan banyak lagi
perjalanan yang saya lewatkan di beberapa sudut Indonersia, terutama di Jawa
Timur. Bukan hanya dari hal tersebut saya mendapatkan kehangatan, dari
orang-orang yang aku temui, dari dosen-dosen yang mengampu, dari sudut-sudut Kota
Surabaya yang aku kunjungi.
Pertemuan
dengan orang-orang di Kota Surabaya membuat aku bersyukur, baik teman yang
hanya bertemu, teman yang berbagi cerita suka dan duka, orang-orang baik yang
tidak saya kenal sama sekali, dosen-dosen yang bukan hanya memberikan materi
kuliah saja, melainkan makna kehidupan, proses bertumbuh, sampai dosen yang
benar-benar menjadi sosok bapak di perantauan.
Mungkin
hanya saya yang merasakan kehangatan, kenyamanan, kesejukan, dan kebahagiaan
tersendiri. Mungkin pernyataan ini ada yang setuju dan tidak sejutu, semakin
dewasa, semakin menemukan lingkaran-lingkaran atau circel pertemanan yang
dibutuhkan untuk kehidupann. Lingkaran pertemanan akan semakin mengecil dengan
apa yang dibutuhkan, terutama kehangatan dalam saling bercerita tentang
kehidupan yang tidak baik-baik saja, tentang kekecewaan, kehampaan, kesendirian,
kesepian, dan apapun yang membuat diri tidak bermakna.
Pernyataan diatas mungkin hanya untuk diriku sendiri atau hanya dirasakan oleh orang-orang yang pernah merantau. Tetapi teman yang berkualitas lebih dibutuhkan, tidak menentukan seberapa banyak jumlah pertemaman dan pertemuan, terkadang orang yang sering bersama tidak nyaman untuk bercerita, berdiskusi, dan banyak hal. Waktu yang sering dihabiskan bersama dengan teman belum tentu menjadi tempat ternyaman berbagi cerita, terkadang orang yang jarang bersama menjadi tempat ternyaman bercerita.
Sesederhan itu, makna kehangatan menjadi anak rautau, apalagi bagiku yang sudah lama sekali di Kota Pahlawan. Tentu definisi-definisi kehidupan semakin luas dan semakin beragam. Salah satu contoh, memiliki satu orang saja sebagai tempat bercerita sudah menjadi bagian obat dari kekejaman kehidupan. Beberapa hari ini aku mencerna caption “Nyatanya rumah bukan perihal bangunan beratap beralas lantai, melainkan tempat dimana kita dapat marasa pulang.”. Rasanya bukan hanya hubungan darah tempat yang hangat, tetapi orang-orang yang baik, salah satu rumah terhangat di kehidupan.
1 Komentar
Kehangatan, yg dirasa bukan hanya yang dicerita, tapi hati kita yang merasakan sentuhan kasih sayang Rahmat Allah SWT..
BalasHapusSentuhan itu sudah Aman sampaikan dalam diksi-diksi Anda... berkah selalu