Dok|IMA Arosbaya |
Suara-suara anak kecil belajar di teras rumah menjadi hidangan pertama saat aku memasuki rumah yang akan aku tempatin untuk rebahan. Di teras depan kamar, aku berbincang dengan ibu temanku. Tentang aku siapa, dari mana, dan seperti apa?. Ibu dengan balutan mukenan bercerita tetang tanah Tambegan dan kondisinya.
Kata beliau, di Tambegan perempuan sudah bisa melanjutkan pendidikan kemana-mana, tidak dibatasi oleh aturan seperti zaman dahulu. Perempuan sudah lumayan mendapatkan haknya untuk berpendidikan tinggi. Selain itu, ada asrama bahasa asing yang diperuntukan pemuda yang ingin menyelami bahasa. Di sini juga dekat dengan masjid, di belakang rumah ada sekolah madrasah dan tempat mengaji anak-anak. Tidak hanya itu, ada juga Taman Anak-Anak (TK) yang sudah terdaftar di badah hukum, namanya tidak tahu, soalnya aku hanya mendengarkan cerita.
Setelah lama aku berbincang dengan ibu temanku, aku istirahat memanjakan badan yang kedingan karena kehujanan dari Surabaya sampai Suramadu. Suasana tidak ramai, membuat aku nyaman untuk memejamkan mata lebih cepat. Tambegan untuk pertama kalinya aku bermalam di tanah Arosbaya dalam rangka diskusi sastra dengan teman-teman Ikatan Mahasiswa Arosbaya (IMA). Aku cepat-cepat memakai sarung dan bergegas mengambil posisi tidur yang nyaman setelah makan di dapur layaknya dapur sendiri.
IMA Arosbaya: Pahat Sastra, Menolak Mati Sia-Sia
Dok|IMA Arosbaya |
Karena bosan menunggu aku diminta mandi dulu biar bau badan berkurang, menghilangkan lelah kerena tidur sebabis makan pagi. Aku guyurkan air perlahan sambil menunggu teman-teman datang. Tidak beberapa menit aku dengar ada yang datang, aku cepat-cepat mandi, tidak enak kalau ditunggu, karena dalam kamus hidupku, lebih baik menunggu ketimbang ditunggu.
Setelah mandi dan memakai baju seadanya dan menuju tempat yang sudah disediakan untuk acara diskusi sastra IMA Arosbaya. Aku menyapa dan disapa sama teman-teman, memperkenalkan diri dan bertanya-tanya untuk modal keakraban. Sambil mendengarkan pembicaraan teman-teman IMA Arosbaya semakin banyak yang datang. Karena semakin banyak yang datang, atas permintaan ketua IMA Arosbaya acara diskusi sastra dimulai.
Dok|IMA Arosbaya |
Langit Arosbaya cerah, terlihat warna biru tanpa sedikit awan yang mengganggu. Hawa panas semakin membuat gerah, tidak ada anging yang sayup-sayup, adanya suara anak kecil sedang belajar di belakang rumah. Sembari memulai diskusi tentang sastra. Aku tidak banyak kata, hanya memulai tentang sastra dalam kacamata teman-teman IMA Arosbaya.
Sembari menghilangkan kegugupan yang biasa aku hadapi, aku memulai dengan perkenalan satu persatu dari mereka. Metode ini sering aku lakukan, agar aku bisa melegakan dan mengingat-ingat terkait materi yang ingin aku sampaikan. Setelah perkenalan akupun mempernalkan diri sebagai bentuk kalau aku juga terbuka.
Peluh bercucuran dalam kaos lengan panjangku, suara sudah sedikit hilang, tetapi tidak membuatku patah semangat dalam bercerita sastra terhadap mereka. Dari mereka aku percaya akan ada benih-benih yang berkembang, meskipun dalam lingkungan yang tidak mendukung, karena dalam teori pendidikan, faktor utama yang membentuk karaktek seseorang adalah lingkungan. Namun, keterbatasan tempat dan lingkungan aku percaya mereka bisa menulis. Mengembangkan potensi yang dimiliki mereka semua, kerena setiap orang pasti memiliki kesukaan masing-masing, namun diantara mereka ada yang suka dan sering menulis.
Pertemuan itu membuat aku nyaman berlama-lama dengan mereka, ingin mendengarkan cerita-cerita kehidupan masing-masing. Sebab, mereka berbeda kampus, berbeda desa, berbeda dusun, dan berbeda kemampuan pasti sangat indah, jika aku mendapatkan kesempatan cerita dari mereka.
Patut aku syukuri, diwaktu sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas akhir, masih diberi kesempatan berlajar lagi dengan teman-teman mahasiswa Arosbaya. Merasa menyesal karena butuh waktu lama untuk menjawab bisa tidak biasanya mengisis acara diskusi sastra ini. Kesempatan ini, benar-benar membuat aku semakin merasa bodoh. Perlu belajar lagi, lagi, dan lagi tentang semuanya, khsusnya prihal sastra.
0 Komentar