Dok|Ummi Aida |
Aku akan ceritakan tentang Indonesia, saya adalah salah satu putra Bumi Pertiwi mencari pelangi di Negeri Pelangi. Seharusnya orang lebih gampang menemukan pelangi di Negeri Pelangi dan seharusnya orang menjadi kaya di negeri kaya, tetapi berbeda dengan negeriku. Mungkin benar ungkapan pepatah, kalau yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, atau benar ungkapan teman sekaligus ayah di perjalanan, demokrasi kita hanya sebatas ruang diskusi.
Latar belakang kampus yang berlebel UIN, membuat aku sedikit tertutup mata, yang saya lestarikan dari bumi Indonesa. Cara pandangku sedikit kabur dari Negeri Pelangi, hanya terlihat hanya hitam dan putih, meskipun sudah tahu kata mutiara Gus Mus, kita akan terkaget dengan orang yang cuman tahu warna hitam dan putih, tetapi kenyatakaannya warna itu bermacam ragam.
Hidup dan membagun cakrawala berpikir di kampus Islam yang hanya tau keseragaman. Semua orang berkerudung menutupi aurat, telah diatur oleh undang-undang birokrat kampus. Dipaksa untuk mematuhi semua peraturan, tanpa harus mengajukan pernyataan dan ketidak setujuan.
Semua mahasiswa yang seragam, tanpa cela keharmonisan terlihat di area kampus. Tanpa harus mengetahui jika malam tidak ubahnya dengan pelangi yang dicuri warnanya dan menyisahkan dua warna –hitam dan putih. Seperti biji mata yang ada hitam dan putih, tetapi warna biji mata tidak ada sangkut pautanya dengan Negeri Pelangi, karena warna mata –hitam dan putih hanya mengajarakan dua istilah baik dan buruk serta benar dan salah.
Kami bertiga, Lukman dan Aida dari kota Pahlawan, membawa bermacam aneka cerita, tentang dusta para koruptor Indonesia, tentang bahagia diujung senja dan kisah-kisah yang membuat mata enggang untuk bermanja-manja. Semua terlihat muda merajalela, di kota seribu dusta tanpa orang-orang perduli akan kisah cinta para pahlawan yang berkorban demi cinta dan jalinan prosa yang terbingkai dalam dunia Indonesia.
Kami membawa senyum-senyum dalam perjalanan dan mengunjungi salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Semarang. Indonesia dengan keberagaman terlihat di kampus Semarang. Bertemu dengan kawan Semarang yang tergabung di pers mahasiswa, Nurul, Diki, Syifa, dan salah satu pencinta sastra -Kartika.
Dalam balutan kesederahanan, Kartika memiliki konsep pemikiran tentang kemanusiaan, melahirkan beberapa pemahaman –puncak kesenangan adalah tangisan dan puncak kesedihan adalah senyuman. Tidak luput tentang cinta, kalau kau mencintai seseorang, biarlah orang itu menemukan dirinya sendiri. Istilah yang saya catat prihal istilah, serat akan filosofinya, kamu bilang bunga itu cantik, tetapi mengapa kamu memetik dan membunuhnya.
Kami bermalam dan disuguhkan sajian yang istimewa, membuat terkesan. Di Universitas PGRI Semarang aku tersenyum, melihat Indonesia dan Negeri Pelangi itu bukan imajinasi semata. Saya melihat Indonesia yang beragam, suku, agama, kultur, bahasa, warna dan lain sebagainya. Dan dalam sejarah kami melihat generasi Indonesia bagian timur juga mengenyam pendidikan dan lulus di Semarang.
Pada saat Negeri Pelangi mulai berguguran, kami menemukan serpihan-serpihan yang telah mewakili Indonesia, bahwa Indonesia masih ada. Bukan Indonesia yang Hindia Belanda, tetapi Indonesia yang berbhenika tunggal ika.
0 Komentar