Dok|Pribadi |
“Polisi saiki gede-gede, bedokaro biyen,”
Ucapan diatas aku dengar saat melihat para peserta Parade Juang Surabaya di Taman Bungkul Surabaya. Dengan bahasa khas Surabaya suami istri dan anaknya menimpali perkataan tersebut. Aku tersenyum dan memandang mereka, aku ngakak dalam hati, terutama ibu yang lagi menggendong anak laki-lakinya.
Perkataan tersebut, membuyarkan konsentrasiku saat memperhatikan deretan peserta Parade Juang Surabaya mulai masuki ruteTaman Bungkul Surabaya. Aku terkesima dengan beberapa kostum prajurit pemerintah, badannya besar, wajahnya sangar, kulitnya saomatang dan tatapannya kedepan.
Semua prajurit pemerintah kota Surabaya juga membawa senapan, pistol, dan pasti tidak lupa memakai baju kebanggaan. Selain itu, para prajurit pemerintah kota Surabaya menampilkan beberapa antraksi. Baik penampilan senapannya, gerakannya, keahlian saat hormat kepada tamu undangan dan warga Surabaya.
Menyikapi ucapan diatas, aku sedikit mengiyakan.Karena saat dulu aku mengunjungi Museum 10 November di Tugu Pahlawan. Para tentara Indonesia memiliki tubuh besar bisa dihitung jari. Sangkaku, dulukan Indonesia belum merdeka, untuk makan sehari-hari susah, apalagi pusat penjajah Indonesia di Surabaya. Kalau sekarang Indonesia sudah merdeka, sandang, pangan dan papan tersedia dengan sempurna. Jadi tentara atau prajurit kota Surabaya berbeda dengan tempo dulu.
***
Ceritanya, aku di PHP sama Google, di laman portal Perpustakaan Bank Indonesia (BI) status buka. Aku senang sekali, karena dari tadi malam ada beberapa teman chat kalau Sabtu tanggal merah dan ada parade juang 2019 Surabaya.
Rencana tadi malam sudah matang sekali, jam 09:00 sudah berangkat ke Halte Ubhara, biasa jalan-jalan naik Bus Surabaya atau biasa teman-teman dan masyarakat Surabaya katakana Bus Toyo. Sampai di Halte Ubhara jam 09:13 dengan cuaca panas sekali. Keringat dari kepala terasa mengguyur wajahku, badan gerah, karena dari kontraanku ke Halte Ubhara cukup jauh.
Rasa kesal dan menyesal tidak pakai sepeda sendiri lebih simple dan enak.Tetapi aku ingat kembali apa yang aku baca di buku Filosofi Teras. Di dalam buku tersebut menyikapi terkait hal-hal di dalam hidup yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak bisa dikendalikan. Dan untuk datangnya Bus Surabaya adalah hal yang diluar kendali kita. Selain itu, Epictetus mengatakan, sumber sebar-benarnya dari segala keresahan dan kekhawatiran kita ada di dalam pikiran kita, dan bukan hal atau peristiwa di luar kita.
Jarum jam di Hp sudah menunjukkan 10:00, dengan keputusan yang matang aku berangkat ke Perpustkaan BI sama BabangOjol (Ojek Online). Keputusan ini, aku ambil hasil renungan dari buku Filosofi Teras. Menunggu abang ojol tidak terlalu lama, karena abang ojol langsung berada di depan Halte Ubhara. Tetapi di aplikasi ojol namanya Anisa Willsalj Rachim, eh yang mengemudi bapak-bapak.
Surabaya, macet, macet dan macet.Untung aku masih ingat Filosofi Teras yang banyak membahas kemacetan di Jakarta. Jadi aku lega melawan macet hari ini. Bukan tidak beralasan, kalau Jalan Darmo atau Taman Bungkul Surabaya ditutup, pasti macet Jalan Joyoboyo. Inilah hasil wawancara atau diskusi kecil sama abang ojol.
Masih Surabaya panas, hujan bulan November belum juga menyapa. Jadi Surabaya tetap panas. Sampai di Halte Perpustakaan BI, aku langsung ke perpustakaan, eh tahu-tahu pas aku Tanya ke pak satpan Perpustakaan BI ditutup. Dengan lemas hati, pikiran pun berubah, aku pundatang keTaman Bungkul mengabadikan Parade Juang 2019 Surabaya.
Kalau tidak salah di Hp suhu panas Surabaya menunjukkan 34 Celcius, tambah gerah dan capek. Tepat jam 10;16 saya sampai di Taman Bungkul, soalnya Perpustakaan BI danTaman Bungkul dekat tinggal jalan kaki.
***
Pasukan bendera merah putih berjejer dibawa oleh pasukan paskibra Parade Juang 2019 Surabaya. Kibaran bendera yang berjumlah puluan, seakan mengabarkan kalau perjuangan Indonesia, khususnya warga kota Surabaya belum selesai. Bendera merah putih memang dua warna, tetapi watak dan karakter Indonesia bukan satu warna.
Yang bikin merinding, aku melihat foto-foto para pejuang Indonesia dibawa anak-anak. Bermacam ragam, lukisan pahlawan disajikan oleh peserta Perade Juang 2019 Surabaya. Akupun berbeda konsentrasi, aku lebih tertarik melihat mobil-mobil besar atau mobil waktu Indonesia dijajah (panser). Seakan suasana waktu terjadi kerjarodi dan romosa, berkelebad dibayangan.
Tidak berhenti dari itu, ada penampilan menyobekan bendera. Bendara yang berwarna biru, putih dan merah, menjadi merah putih. Suasana mencekam, apalagi yang asap menjadikan suasana semakin mencekam. Teriak-teriak memecahkan keramaian Tanam Bukngkul ketika bendera tinggal merah putih berkibar.
0 Komentar