Dok|Ahmad Hidayat Foto ketika buka bersama di kediaman Ahmad Hidayat. |
Perjalanan Menuju Lembah Kenangan
Dok|Abu Aman Ini jalan Seddeng. Foto ini diambil dari arah selatan setelah jalan perempatan. Di jalan ini sering dilewati ketika pulang dan balik pesantren. |
Dari sekian daftar tanya dan waktu-waktu menunggu, ternyata sudah ada yang di lakosi dan membalas pesan singkatku. Baik aku akan menunggu teman di Seddeng, agar lebih nyaman bersama-sama memasuki pekarangan tuan rumah reuni tahun ini. Biasa, karena bersama-sama itu lebih indah, meski tidak harus sama, setidaknya beriringan tanpa meninggalkan.
Tidak butuh waktu lama habis mandi dan ganti baju. Waktu masih di pesantren “Darussolah (Pusat) An-Nawawiyah” Pakong, Modung, Bangkalan tetap menemani acara reuni tahun ini, sebab aku memiliki keyakianan, reuni bukan untuk menunjukkan kalau kita mengalami perubahan. Selain itu, apa yang kita capai selama lulus dari Darussalam sampai sekarang ini tidak untuk menyakiti teman-teman, kita tidak diperbolehkan agar terlihat lebih baik dan lebih mapan atas pencapaian lima tahun berjalan.
Seddeng jalan perempatan dengan kenangan yang tidak terbilang, terbayang jelas kalau aku pernah melewati setiap pulang pesantren dan kembali ke pesantren. Padahal aku ketika berangkat ke Surabaya sering lewat di Seddeng, tetapi entah mengapa sekarang ini Seddeng seakan lebih bermakna. Atau memang benar, kita akan merasakan ketika kita meninggalkan atau kita akan mencari makna ketika kita bertemu kembali dengan potongan perjungan.
Langit Seddeng menyajikan keindahan dan alam memberitahukan hiruk-pikuk perputarannya. Dari senja yang mulai terlihat malu-malu, dan macet serta lalu –alang roda dua saling kejar-kejaran. Betapa banyak ragam ilmu dari alam yang tertinggal dan ditinggalkan jika tidak dipikirkan dan direnungkan. Penantiannku dengan teman cepat-cepat mengalami perjumpaan.
Kawan, iya kawan, oh iya, kawan adalah sebutan kepada lulusan Darussalam. Kawan yang menemani perjalanan adalah Athoillah Badri, pria sederhana dan penuh tanda tanya asal Lerpar, Geger dengan luasnya bacaan, Moh. Baddrus Sholeh, laki-laki asal Kelbung, Galis yang sering tersenyum dan beberapa daftar kapasitas keilmuannya. Ilyas, laki-laki asal Batokaban, Kokop berperawan sosok ustaz, dan Moh. Romli, asal Tlaga, Galis yang khasnya pinter baca kita gundul. Aku pria yang memutuskan untuk menulis ini, tidak seperti meraka dan kawan-kawan yang lain. Aku hanya tidak ingin dilupan dan terlupakan oleh dunia. Sesederhana itu, tidak banyak dan tidak lebih.
Berbuka Sebotol Air Berempat
Dok|Ahmad Hidayat Foto Bersama dengan Teman-Teman Lulusan MA Darussalam 2015. |
Aku kira ketika memasuki jalan kampung akan cepat sampai, tetapi kami masih masuk ke jalan agak rusak. Aku masih melihat sepeda motor yang dikendarain Romli kadang mati, kadang hidup, membuat aku memperlambat kecepatan sepada motor. Akibat aku dan Atho melaju dengan landai, kamipun tertinggal jauh dari teman-teman, aku takut tersesat. Meskipun aku sudah pernah ke rumah Dayat, tetapi ingatan itu terkubur dalam-dalam-lima tahun berjalan.
Apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, aku, Atho, Romli, dan Ilyas tertinggal jauh dari teman-teman yang lain. Demi keputusan yang sedikit bimbang, kami melaju lurus, tahu-tahu kami menerobos desa Sepparah. Sehingga keputusan yang kami ambil keliru, untung ketika di desa setelah Sepparah kami memutuskan bertanya kepada kakeh-kakeh. Ucapan kakek membuat kami sedikit kecewa, iya kami kecewa karena terlalu jauh dari lokasi acara.
Atas keputusan bersama kami berharap tidak akan tersesat kembali, lagi-lagi kami tersesat kembali. Kalau aku tidak apa-apa, tetapi kasihan Ilyas karena menyetir mobil, agak susah untuk putar balik, berbeda dengan kami yang mengendarai sepada motor. Tepat untuk kedua kalinya kami berbuka puasa hanya dengan sebotol air aqua berempat.
Dahaga kami hilang, meski terkadang Romli mau pulang saja berbuka puasa di pasar Tanah Merah. Akupun meminta tolong untuk dijemput sajah karena sudah lelah menyusuri jalan desa Sepparah. Lagi-lagi suara azan Magrib bertalu-talu, rencana buka bersama gagal total, jadinya kami berbuka berempat saja diatas sepeda motor masing-masing.
Sekadar Pertanyaan
Dok|Kholis Foto disela-sela diskusi. |
Berpijak pada karya Yuval Noah Harari, kami benar-benar menyingkap masa lalu kami masing-masing sewaktu sekolah dan mempertanyakan masa depan kami masing-masing. Begitulah seterusnya pertemuan kami berlangsung. Meskipun hanya sekadar dasar, tidak seluas sajian karangan Yuval Noah Harari, setidaknya itulah pertemuan kami.
Yang terpancarpun hanya senyum, gelak tawa, canda tawa, saling membuka aib ketika masa-masa sekolah-putih abu-abu. Ujung-ujungnya pembahasannya tentang tugas akhir kuliah yang masih menghantui dari belakang, terasa ada yang berbisik “Kapan kamu selesai skripsinya”. Selain itu, selesai makan-makan dan berbincang hangat kami memutuskan cepat-cepat pulang.
Rasanya tidak sah kalau bertemu tanpa meninggalkan bukti pertemuannya. Kami berpose bareng-bareng, bukti kalau kami pernah buka bersama sesama angkatan 2015. Itupun berfoto ala kadarnmya, pada intinya kita tetap bertemu, sebagai pembelajaran untuk masing-masing. Apakah kita tertinggal dari teman-teman yang lain. Atau sebagai tolak ukur sejauh mana kita pernah melangkah dan mengambil keputusan untuk mengemban tanggung jawab sebagai manusia.
0 Komentar