https://gambaranimasipro.blogspot.com |
Bunyi kendaraan tidak membuat aku dan laki-laki berkacamata merasa terganggu, kami berdua asyik berdiskusi tentang buku-buku karangan Yuval Noah Harari, Tentang Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons. Diantara yang paling aku suka ucapannya, tentang rekayasa genetika sampai mengubah Homo Sapiens menjadi Homo Deus, adanya perbedaan kasta Homo Deus dan Homo Sapiens Kuno, perbudakan algoritma big data, dan manusia cyborg. Selain itu, tentang Indonesia yang sangat beragama dalam semua aspek kehidupan.
Sesekali kereta api melintas terdengar suara klasonnya, membuat gendang telinga sakit, cuman kereta api yang bisa membuat kami berhenti bertatap muka, mengalihkan kesibukan dengan pendengarannya masing-masing. Setelah itu, kami tetap melanjutkan diskusi tentang kesukaaanya menjelajahi daerah-daerah Indonesia. Entah sudah berapa banyak laki-laki berkacamata berkelana mengetahui isi Indonesia. Mulai dari pulau paling timur Indonesia, laki-laki berkacamata itu menjadi relawan mengajar di sana.
“Tidak pernah aku meneteskan air mata selama mengucapkan dan mendengarkan lagu-lagu kebangsaan Indonesia, hanya ketika anak-anak timur Indonesia membuat aku tersentuh,” tutur laki-laki berkacamata sambil sesekali memperbaiki letak kacamatanya berwarna hitam.
“Waktu itu, tepat hari Senin, aku dan teman-teman ikut melafalkan pancasila. Dimana semuanya menangis karena ada anak kecil, kelas satu sekolah dasar sangat menghayatinya,” katanya dengan sedikit berbeda intonasi suaranya. Aku lihat dia memaikan jari-jari tangannya, sambil memandangku dengan sedikit berkaca-kaca.
Suara bising pekerja bangunan perpustakaan belum juga selesai, suara-suara peralatannya mengganggu teman-teman sedang asyik bercengkraman, paling-paling mereka membahas tentang acara organisasi. Aku tidak merasa terganggu, aku masih sama mengingat-ingat pertemuan siangkat dengan laki-laki berkacamata. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa lupa menanyakan nama dan nomor teleponnya. Hanya dapat alamat rumah di Bengkulu, kami berjanji untuk saling mengirim surat lewat pos setiap bulan satu kali. Surat yang menceritakan kehidupan sehari-hari, dan buku-buku bagus wajib dibaca sebagai wawasan baru tentang dunia yang belum dipahami.
Akhirnya pohon yang teduh tidak membuat aku nyaman untuk berlama-lama memanjakan diri yang berkeringat, karena AC kelas rusak tidak pernah diperbaiki, katanya besok, besok, dan besok. Hal yang paling membuat aku terganggu, sikap ibuku sejak aku bercerita mendaftar program dari Kementrian Agama Republik Indonesia terkait program pengabdian di Nusa Tenggara Timur.
“Ibu tidak setuju kalau Yudi ikut program di sana, kenapa tidak di Pulau Jawa saja atau di daerah yang mayoritas beragama Islam,” perkataan ibu membuat aku pesimis untuk mengambil keputusan menerima hasil seleksi program pengabdian ke Nusa Tenggara Timur.
“Pokoknya ibu tidak setuju.” Tegasnya di ruang tamu saat aku mengutarakan hasil pengumuman dari kampus.
Wajah ayah tetap tenang, mendengarkan ucapan ibu dengan santai, tidak ada gerak gerik satu komando dengan ibu. Harapan satu-satunya tinggal ayah memberikan izin kepadaku untuk menerima program pengabdian di Nusa Tenggara Timur. Ayah yang bisa menyelamatkan impianku sejak awal-awal kuliah ingin ke Timur Indonesia. Dari tatapannya ayah mau berbicara, tetapi ibu tetap bersikukuh tidak mengizinkan aku. Aku masih menunggu bibir ayah menjawab atas pemintaan izin untuk melanjukan program pengabdian ke Nusa Tenggara Timur.
“Ibu, biarkan Yudi mengikuti program ini, ayah tahu ibu khawatir. Tetapi ini demi kebaikan Yudi sendiri nanti,” tutur ayah pelan sekali memegang tangan ibu dengan lembut. Seketika ibu terdiam, ibu menatap tatapan ayah yang berharap penuh untuk memberikan izin kepadaku.
“Ibu takut kamu kenapa-kenapa Yudi. Ibu takut sekali kamu nanti di sana terjadi apa-apa yang tidak diharapkan.” Suara ibu lemah lembut memegang pundakku sambil menatap wajahku.
“Biarkan Yudi mencari kebodonnya, biar dia tahu kalau dunia luas dan banyak orang-orang pintar diluar sana. Yudi akan tahu nanti dimasa depan harus bagaimana, karena ayah sendiri saat kuliah sama salah satu dosen dikatakan, kalau aku tidak akan tahu makna Indonesia, sebelum menjalahi Indonesia. Aku benar-benar percaya dahulu kalau pancasila benar-benar nyata di Indonesia.” Ayah sekarang sudah serius, mendengarkan dengan seksama, suasana hanya aku temua ketika masa-masa masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ibu tidak pernah salah mengatakan seperti itu kepadaku, ibu tidak lulus sekolah rakyat, hanya ayah yang bisa menyelesaikan pendidikan sampai mendapatkan gelar sarjana. Dari cerita ayah, waktu zaman Belanda berkuasa, hanya ayah satu-satu pribumi yang bisa menyelesaikan pendidikan, karena ayah bisa membaca dan sering dipanggil ke kantor kecamatan untuk membantu terkait administrasi kepemerintahan desa.
***
“Yudi, Yudi, Yudi,” teriak Abb sambil menarik bajuku dari samping.
“Yudi silahkan bercerita,” pinta Analisa kepadaku.
Tiga tahun ternyata cepat sekali berlalu, terasa masih kemarin aku dilarang ibu dan mendengarkan kata-kata bijak ayah setiap hari. Semoga mereka berdua mendapatkan kebahagiaan di sisi Tuhan, dan bangga terhadap diriku atas pencapain-pencapain selama ini. Aku sangat berterima kasih kepada almarhum kedua orang tuaku selama ini. Mereka berdua benar-benar sosok yang tidak pernah bisa aku lupakan, dari cerita-cerita waktu kecil sebelum tidur, marah-marah karena hujan-hujanan, dan mengelus-ngelus rambut ketika badan tidak sehat.
Suasana dengan beberapa mata memperhatikan gerak-geriku, terasa sangat sederhana ketika mengingat kembali masa-masa dibangku perkuliahan. Mereka menungguku untuk bercerita tentang Nusa Tenggara Timur, saat tiga tahun lalu melaksanakan program pengabdian berbasis moderasi agama. Toleransi beragama, mengamalkan nilai-nilai pancasila, merealisasikan pemahaman tentang sembilan elemin ajaran Gusdur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan indahnya bersama-sama mendidik dan berbagi cerita dengan anak-anak polos di Nusa Tenggara Timur.
“Indonesia hanya bisa kita temui di timur Indonesia. Kalau ingin tahu Indonesia yang sesuai pancasila diterapkan, di Nusa Tenggara Timur. Sebab, perbedaan tidak pernah membuat mereka berbeda, meskipun beda agama, tetap saling membantu satu sama lain. Orang Islam membantu pembangunan gereja, dan orang Kristen membantu pembangunan masjid.” Ceritaku kepada teman-teman Taman Baca Surabaya.
Tetap hening, tidak tahu kenapa suasana yang tadinya gaduh dan terdengar makanan dari mulut mereka semua. Ketika aku berhenti, suara detak jarum jam sangat jelas, kipas anging berputar-putar, suara kendaraan dari jalan raya terdengar. Aku tetap duduk melingkar, bersama mereka pengurus Taman Baca Surabaya. Sesekali aku meneguk air karena tenggorokan kering.
“Perbedaan-perbedaan yang ada tidak untuk dibedakan. Apalagi agama ada bukan untuk saling menjauh satu sama lain, agama hadir untuk saling melengkapi kebaikan. Jangan jadi alasan utama karena beda harus dibeda-bedekan.” Ucapku tegas, seperti setiap pagi di teras rumah dengan Kepala Desa, menikmati kopi asli Nusa Tenggara Timur dipadukan dengan pisang goreng, dan cerita-cerita umat Islam dan Kristen di sana.
“Ketika aku sakit di NTT, aku diperhatikan oleh salah satu warga, dicarikan obat malam-malam, sering ditanyakan kenapa tidak keluar, ternyata waktu itu aku sakit mata,” ceritaku mengenang saat mandi dengan warga di sungai yang dibendung. Tidak tahu airnya bersih atau kotar, sungai yang lebih cocok dikatakan jala air kecil. Apalagi mandi bersama, mungkin karena mataku dalam keadaan sensitif langsung merah dan keluar kotoran.
“Saya kira waktu itu akan makan bersama-sama umat Kristen di gereja, tetapi mereka menghargai saya yang beragama Islam tidak boleh makan babi. Mereka menyediakan sate daun singkong dan daging ayam. Ayampun disembelih oleh umat Islam sendiri.” Tuturku kembali seakan kejadian tiga tahun lalu masih terasa kemarin, pulang dari Nusa Tenggar Timur, naik pesawat, bertemu dengan kawan-kawan Se-Indonesia, dan belajar toleransi beragama.
Tepat suara dering telepon genggam bergetar, waktu untuk diskusi telah selesai. Akupun bersalaman dengan mereka, mengabadikan momen, berkenalan, menanyakan aktivitas sekarang sibuk dengan apa, dan saling meminta untuk tetap menjaga hubungan serta saling bersama-sama menjaga kerukunan sebisa mungkin. Tepat suara-suara langkah kaki mengisi ruang Taman Baca Surabaya, akupun meminta izin untuk kembali ke rumah.
***
Kerumunan burung gereja bersiul-siul, suaranya membuatku tergoda untuk diperhatikan di pohon tanjung, pohon ketapang, pohon mahoni dan beberapa pohon membentuk lorong panjang yang teduh. Pandanganku tertuju pada pohon kenari, pohon yang menjadi salah satu sejarah penjajahan di Indonesia. Jika melihat pohon kenari, teringat pelajaran dan buku-buku sejarah Indonesia.
Daun-daun pohon kenari berjatuhan, di sebagian ranting juga dihinggapi kawanan burung gereja, dan daun-daun berguguran, tepat dibawahnya ada laki-laki berkacamatan bersama anak kecil sekitar berumur tiga tahun. Mereka duduk berdua, terkadang anak kecil turun dari kursi di pinggir jalan. Lelaki berkacamata membiarkan anak kecil itu bermain, aku tidak tahu dia anaknya atau adiknya. Buku berwarna hitam dibaca laki-laki berkacamata, tidak terlihat buku apa yang sedang dibaca. Meskipun daun-daun pohon kenari mengenai laki-laki berkacamata, ia tidak perduli tetap fokus pada bacaannya.
Membutuhkan lima menit untuk menyebrang jalang, menunggu lampu merah menyala dua kali. Aku berada di bawah pohon kenari, beberapa helai daun berguguran mengenai kepalaku, aku penasaran pada topi yang dipakai laki-laki berkacamata, tidak asing dalam pandangan. Teringat surat yang aku terima lewat tukang pos menunjukan kalau laki-laki yang aku hampiri adalah laki-laki tiga tahun lalu, pernah diskusi di pinggir jalan.
“Selamat siang pak?” Ucapku pelan sambil memandang anak kecil laki-laki juga memandang ke arahku, akupun tersenyum dibalas dengan senyum lucunya.
“Siang juga Mas,” kata laki-laki bekacamata memandangku lama sekali ke arah wajahku. Akupun langsung menghamipiri dan berjabat tangan.
Setelah kami basa-basi membahas kehidupan sehari-hari, rutunitas menyibukkan, dan agenda-agenda perjalanan. Anak laki-laki berumur tiga tahun adalah anak laki-laki berkacamata. Laki-laki berkacamata aku ingat di surat balasan kelima adalah Raihan. Laki-laki lulusan salah satu kampus ternama di Jawa Tengah. Mengurus anak semata wayangnya sendirian dengan umur tiga lima tahun ditinggalkan sitrinya saat persalinan.
“Ibunya Rezi meninggal ketika melahirkan, jadi aku hidup berdua selama ini,” kata Pak Raihan sedikit pilu, senyumnya tetap sama ketika dipinggir jalan dahulu.
“Mas Yudi, bagaimana perjalanannya dulu ke Nusa Tenggara Timur, kalau tidak salah NTT mendapatkan penghargaan sebagi pusat toleransi tertinggi nomor dua se-Indonesia,” ucap Pak Raihan datar.
“Iya bapak, bagaiman tidak dapat penghargaan, di sana sangat tinggi toransinya. Terutama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada acara keagaman setiap pemeluk agama saling menghadirinya,” ucapku sederhana dan sedikit keras.
“Aku bergarap Indonesia seperti NTT Mas, semua daerah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin di sana semangat gotong royongnya sangat tinggi demi hidup berdampingan?” tanya Pak Raihan. Pak Raihan berhenti berbicara Rezi mengajak pulang terus.
Pertemuan itu menyisakan beberapa pesan damai kehidupan, seperti tangis orang-orang Nusa Tenggara Timur, melihat aku berpamitan kembali ke tempat kami masing-masing, membawa pesan-pesan damai. Pak Raihan, padahal pertanyaanya belum aku jawab, semoga kiriman surat selanjutanya membahasa Indonesia masa di depan.
0 Komentar