Pawitra III: Rinai dan Kabut

Dok|Internet

Pos 1 Jalur Tamiajeng Penanggungan


Setelah menyepakati perjanjian kepada diri kita masing-masing untuk selalu bersama-sama dalam keadaan apapun selama dua hari (8-9 Agustus 2020). Selama itu aku akan mengenal kalian yang susungguhnya, seperti jalan dan tanjakan yang memberikan hal-hal baru dalam kehidupan. Doa yang kami panjatkan adalah senjata perjalanan, harapan tetap berada di kelopak mata setiap kami memandang ke depan.

Pos satu titik awal pendakian 1.653 MDPL (meter diatas permukaan laut). Masih sama suara-suara masih ramai sekali, dari pendaki berkelompok memeriksa, membagi, dan mengisi air sebagai bekal pendakian, warung-warung banyak tidak khawatir akan lapar dan dahaga, dan tempat istirahat paling nyaman sembari berkenalanm dengan beberapa kawan.

Langkah kami pun mengiringi setapa demi setapa pendakian, kami tidak terganggu oleh jalan yang berbatuan, berjalan beriringan dan terkadang memanjart ke belakang. Faruq posisi paling depan, Amar nomor dua, aku memilih berada di nomor tiga, dan Hisyam memantaskan diri untuk bersedia berada di paling belakang. Posisi ini menyesuaikan dengan senter kepala yang hanya ada dua biji.

Perjalanan dimulai, tentunya kami melupakan dengan candaan, nyanyian, dan diantara kami ada yang bersedia bercerita tentang apa saja, setidaknya menemani semangat yang masih membara ini. Jalan Pos 1 ke Pos 2 bebatuan, beberapa kali turun naik. Kata Amar, kami berangkat tepat jam enam, sesekali bertemu dengan pendaki yang mau pulang dan yang sama dengan kita memulai. Kami mengekor, takut salah dan menghilangkan ketakutan yang sempat kami rasakan.


Pos 2 Jalur Tamiajeng Penanggungan


Dok|Pribadi

Rumah-rumah penduduk sudah tidak terlihat lagi, suara-suara manusia tidak senyaring di Pos 1, dan lalu lalang pendaki semakin padat. Yang terdengar suara hewan malam, keras sekali mengalahkan gesekan langkah kami. Suara binatang malam terdengar ditelinga sembari duduk istirahat melihat pendaki di Pos 2 yang membeli bekal dan kekurangan bekal.

Aku dan teman-teman sudah menghabisi satu botol masuk memenuhi nutrisi. Tinggal delapan botol lagi. Kami hanya berhenti sebentar, menyaksikan pendaki lain yang juga duduk istirahat, sejujurnya badan sudah lemas, tapi mau tidak mau kaki harus tetap melangkah. Lemas yang menimpa sedikit terobati oleh Amar yang sering mengvideo perjalanan kami. Amar sudah ada rencanan membuat video perjalanan ke Gunung Penanggungan ini.

Perjalanan dilanjut dari Pos 2 ke Pos 3. Keluar dari kawasan Pos 2 langsung dihadapakan tanjakan yang cukup membuat kami harus beristirahat kembali. Sesekali kami bertukar tas dan meneguk kembali air. Dari istirahat ini budaya salam mulai terbiasa kami ucapkan dan dengarkan. Budaya salam sapa kami gunakan, “Monggo Mas”, “Mari Mas”, “Duluan Mas”, “Permisi Mas”, “Semangat Mas”, dan banyak lagi yang dilontarkan para pendaki sedikit mengurangi rasa lelah.

Kaki mengajak kembali melangkah, Amar kembali membuat ulah. Terima kasih sudah menghibur perjalanan ini, sedangkah Hisyam, kadang menyanyi dan terkadang sedikit menyapa pendaki perempuan. Kalau Faruq tetap aja bercerita sama Amar, aku tetap berada di depan Hisyam, memperhatikan sekitar. Hutan semakin rimbun dedaunan saling rapat, hanya beberapa cela dapat melihat hamparan langit dengan gemintang.


Pos 3 Jalur Tamiajeng Penanggungan

Pendakian semakin tinggi, hamparan lampu yang berkerlap-kerlip terlihat dari beberapa tempat, bintangpun sudah banyak dapat dilihat dengan mata telanjang dan kami pun sudah banyak melakukan istirahat. Kami sudah mengucapkan kalau sudah lelah dan butuh istirahat. Tetapi meskipun banyak melakukan istirahat hanya sebentar kami istirahatkan.

Setapak demi setapa kami melangkan, dari Pos 3 ke Pos 4 memang lumayan terjal, tidak ada perjalanan landai, medanya naik tidak ada yang datar. Tetapi tidak membahayakan kalau hati-hati, ternyata bukan kami saja yang banyak istirahat perjalanan ke Pos 4, pendaki lainnya juga banyak melakukan istirahat. Agar kami tidak lelah, teringat pendakian bertemu dengan anak-anak yang berumur empat tahun dan ada yang berumur tujuh tahun. Geli melihat anak-anak sudah tidak takut mendaki, untungnya ditemuni rombongan dan kedua orangtuanya.


Pos 4 Jalur Tamiajeng Penanggungan

Akhirnya kami sampai juga di Pos 4, tetapi sialnya kami disambut oleh gerimis, aku berdoa semoga tidak semakin deras, karena kami tidak membawa jaz hujan, hanya aku saja yang membawa. Gerimis semakin deras, kami pun beramai-ramai berteduh di Pos 4, semacam gasibo, pada intinya kami bisa menyelamatkan barang bawaan dan badan agar tidak basah kuyup. Mendadak gabut tebal menyerang ke Pos 4, kerena rata-rata para pendaki memilih melakukan istirahat di Pos 4 tidak membuat kami takut.

Pos 4 memang lebih baik beristirahat secukupnya, karena perjalanan ke Puncak Bayangan katanya cukup menantang. Bukan itu saja, dari Pos 3 ke Pos 4 selalu tanjakan, sehingga mewajibkan pendaki istirahat sambil mengisi perut yang mulai keroncongan. Kami pun menganjal perut dengan gorengan, yang dibeli oleh Hisyam dan Amar sebelum memauki kawasan Tamiajeng. Gorengannya lezat sekali, jadi teringat kalau kajian di kampus, makan wajib saat kajian.

Kaki ini sudah beberapa miter perjalanan, ternyata bebatuan dan tanah yang licin sudah tersaji di depan mata. Kalau dibilang susah, sangat susah menurutku, aku takut terpeleset dan bergelinding, alih-alih terbentuk ke batu. Doa-doa pun dalam hati aku panjatkan, perjalanan kali ini sangat susah kami lalui. Kami sudah merasa takut dan khawatir, terutam Amar yang pakainnya membuat tidak leluasa berpindah-pindah. Mendadak ada yang berteriak batu bergelinding dari atas, waswas mulai menggema di sanubari, yang ditakutkan takut terjadi.


Puncak Bayangan
Dok|Faruq
Suasana Puncak Bayangan Ketika Siang Hari.

Napas kami terdengar ditelinga masing-masing, akhirnya kami sampai ke Puncak bayangan. Perutpun sudah tidak bersahabat, tetapi melihat hamparan tenda berdiri kokoh melepaskan badan. Kami pun mencari-cari tempat untuk mendirikan tenda dan ingin segera makan dan tertidur pulas. Ternyata belum memperoleh tempat yang cocok untuk mendirikan tenda, lebih tepatnya tidak mendapatkan tempat yang datar. Setelah naik ternyata ada tempat yang kosong dan cukup untuk didirikan tenda meski tidak terlalu datar.

Lagi-lagi gerimis kembai membasahi kami, bersusah payah kami mendirikan tenda, bukan susah untuk mendirikan tenda, tetapi takut gerimis semakin deras dan membasahi kami. Layaknya anak pramuka yang lihai dalam membangun tenda, bedanya tenda kami sangat gampang ketimbang tenda acara perkemahaan pramuka. Kami pun bekerjasama agar cepat selesai tendanya, agar bisa cepat makan dan tertidur pulas sebagai tabungan tenaga mendaki puncak Gunung Penanggungan.


Dok|Hisyamuddin
Sebelum Melaksanakan Ibadah Tidur, Kami Mengabadian Di dalam Tenda.

Seakan kemenangan anak-anak dalam perlombaan, akhirnya tenda selesai. Acara pertama makan-makan jajan terlebih dahulu, lapar sudah tidak bisa ditahan lagi. Habis makan-makan jajan, terbitlah memasak mei, mei keputusan kami agar tidak ribet memasak nasi. Di samping memasak dan melahap mei, kami mendengarkan lagu-lagu Timur yang energik, sambil rebahan dan membayangkan besok seperti apa medan yang kami akan lalui, karena melihat perjalanan dari Pos 4 ke Puncak Bayangan susahnya minta ampun.

Ternyata malam lebih mengajak kami tertidur lebih cepat, sebelum menuntaskan percakapan dan candaan yang kami rasakan. Malam lebih menarik untuk aku rindukan, bersama gerimis kecil-kecil membahasahi tenda kami, tepat suara-suara pendaki lainnya sedang menikmati malam, kami pun hanya dalam dunianya masing-masing.



*Jika menemukan kesalahan dalam data dan teknis kepenulisan. Dengan lapang dada, mengirim pesan lewat Instagram @abuamansyach. Mari kita berbicara dengan mata terbuka dan pikiran merdeka. Peluk jauh.

Posting Komentar

0 Komentar