Pawitra V: Miniatur Mahameru

Dok|Pribadi

Dinginya Puncak Bayangan tidak sampai menusuk tulang belulang, bahkan suhu dingin tidak sedingin ketika berada di bawah gunung. Tidak perlu waktu lama, kami bersiap-siap tepat jam tiga pagi, tetapi lagi-lagi Amar susah untuk bangun, bukan bangun tidur tapi bangun dari terjaganya tidur. Tepat jam tiga lewat kami melangkahkan kaki, menuju puncak tertinggi Gunung Penanggungan yang digadang-gadangkan sebagai miniatur gunung Mahameru.

Tidak butuh terlalu lama perjalanan ke puncak, kami langsung dihadapkan jalan yang sangat curam. Aku sendiri mengira cukup perjalanan dari Pos 4 ke Puncak Bayangan yang suah yang minta ampun, ternyata dari Puncak Bayangan ke puncak Gunung Penanggungan lebih parah lagi. Yang membuat kami takut hanya satu, takut batu bergelinding dari atas, karena kami mendaki diwaktu malam, konsekuensi sangat besar. Tetapi tenaga tidak terlalu digunakan kalau mendaki di waktu pagi, hanya lelah yang kami rasakan. Tidak ada panas atapun keringat yang membasahi kami, hanya dingin yang tidak seberapa dingin.

Menuju puncak Gunung Penanggungan sangat terjal lurus keatas, jalan yang penuh batu-batu dan tanah licin membuat kami susah dan banyak istirahat. Tepat azan Subuh bergema, kami bergantian melaksanakan salat Subuh dengan betayamum. Untung tidak ada pendaki yang melintasi kami, jadi tidak malu melaksanakan kewajiban.

Setiap tanjakan kami sering melakukan istirahat, lumayan  banyak dan lama kapasitas istirahatnya. Aku terkdang sedikit menyesal, karena aku takut sekali perjalanan menuju puncak Gunung Penanggungan. Bagaimana tidak takut, aku kira dan pastinya disetujui oleh beberapa kawan, kalau perjalanan ini nyawa taruhanya. Perasaan itu aku tepis cepat-cepat, membayangkan kalau sudah beraad di puncak, berteriak, berlari-lari, dan mengebarkan sangsaka merah putih.

Rerumputan seakan takut untuk dijamah, hanya berpegangan ke bebatuan yang besar, berjalan jongkok tidak tegap, takut terjatuh dan batu lepas dari pegangan. Tepat berada di depan goa Sriti, langit sudah lumayan cerah, awan-awan berarakan di atas kami, kalau dipegang seakan bisa kami tarik kebawah. Aku melihat-lihat goa Sriti, sambil membaca tulisan yang tidak bisa dibaca.

Dok|Faruq
Ini Goa Sriti Jika Siang Hari. Bisa Dihuni Oleh Empat Sampai Lima Orang.

Akhirnya pemilik semesta memberikan kesempatan untuk aku merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa. Memandang alam terbentang luas, awan-awan berada di bawah kaki, Gunung Mahameru terlihat gagah yang terkadang mengeluarkan asap dan tepat di depan mata Gunung Arjuno menjadi daya tarik sendiri untuk mengabadian berlatar gunung tersebut. Kuasa Tuhan benar-benar indah, meski terkadang kabut tebal menerobos pandangan kami, tidak membuat kami takut untuk berjalan menyusuri Puncak Penanggungan.

Aku sama Hisyam berjalan berdua menikmati pemandangan dari segala Gunung Penanggungan. Sedangkan Amar dan Faruq masih setia pada gagahnya Gunung Arjono yang jelas sekali dengan mata telanjang. Aku dan Hisyam mengibar kan bendera merah putih diatas hamparan awan yang tebal, aku seperti terbang diatas awan membawa bendera merah putih.

Dok|Pribadi
Makan Islam Satu-Satunya di Puncak Gunung Penanggungan.

Mataku terbelalak melihat kuburan besar dibawah puncak, hanya beberapa langkah menuju kuburan yang hanya satu-satunya di puncak penanggungan. Kuburan Syeh Ahmad Sayadi, dari namanya beragama Islam. Satu-satunya kuburan yang menghiasi puncak Gunung Penanggungan.

Disamping itu, Hisyam yang setia menjadi fotografer terkadang membuat aku malu sendiri. Tetrapi tidak apa-apa, kesempatan di Gunung Penanggungan tidak bisa diulang kembali. Selesai kami menyusuri Gunung Penanggungan, kami memutuskan kembali ke Amar dan Faruq. Aku lebih banyak terdiam memikirkan dan memperhatikan gerak-gerik pendaki yang memiliki latar belakang beragam.

Dok|Hisyamuddin

“Nikmat manakah yang kau dustakan,” itu ayat Tuhan dalam kita Al-Qur’an. Nikmat Tuhan sangat-sangat besar dan inilah bukti ayat-ayat Tuhan dalam alam. Alam ini terjaga karena kawan-kawan pendaki menjaga linkungan, tidak membuang sampah sembarang. Dilarang keras sampan yang ditinggalkan, sampahnya harus dibawa kembali dan dibuang pada tempatnya.

Tuhan, berikanlah kesempatkan kembali pada manusia lemah ini, menjajaki gunung-gunung untuk merasakan perjalanan. Entah dimana gunung selanjutnya aku akan diberikan kesempatan, yang jelas Tuhan terima kasih atas kesempatan langkah ini dalam kehidupan.



*Jika menemukan kesalahan dalam data dan teknis kepenulisan. Dengan lapang dada, mengirim pesan lewat Instagram @abuamansyach. Mari kita berbicara dengan mata terbuka dan pikiran merdeka. Peluk jauh. Cek selanjutnya video perjalanan di sini.

Posting Komentar

0 Komentar