Storytelling Doktor Ludruk di Gunung Penanggungan

Dok|Faruq

Gunung Penanggungan masih berkabut, matahari pun seakan sudah menyepakati perjanjian untuk tidak melebarkan sinarnya. Lalu lalang para pendaki diatas puncak yang memiliki ketinggian 1.653 MDPL. Selain itu, para pendaki laki-laki ataupun perempuan menikmati lautan awan. Dari itu semua, duduklah sendirian menghadap gagahnya Gunung Arjuno dari puncak Gunung Penanggungan.

Aku dan temanku, Muhammad Hisyamuddin mengampiri laki-laki berkacama menyaksikan tirai awan yang terkadang menutupi Gunung Arjuno. Aku duduk di sampingnya, membuka perkenalan seperti biasa orang bertemu orang asing dari beragam kota di Indonesia. Sebelumnya aku tertarik karena ia hanya sendirian dan tidak mengabadian momen dengan berfoto ria. Malahan hanya memandang tajam ke depan, meski terkadang melirik ke samping kanan dan kiri.

Kamu bisa memanggilnya Pak Autar. Lelaki kelahiran Pekanbaru, Riau, Sumatera Barat 6 November 1966, yang telah 35 tahun menenguk asam garam kehidupan di Surabaya atau orang-orang bilang Kota Pahlawan. Laki-laki yang telah dikaruniai dua anak perempuan, salah satu dari buah hatinya sudah lulus dari Politeknik Negeri Malang.

Dengan nada dan karakter kebapak-bapaan menjawab, kalau Pak Autar mendaki Gunung Penanggungan tanpa pendapingan teman atau mahasiswa. Dari status facebooknya, ia merasakan kalau ratusan anak-anak muda berkelebat lalu lalang mencairkan darah beku dan angin bisu. Jawab Pak Autar sambil sesekali membetulkan kacamata hitam dan terkadang diletakkan diatas jaz hitam dengan lipatan halus.

“Mendaki sendirian di Penanggungan tidak takut, apalagi sekarang hari Sabtu dan Minggu, banyak pendaki yang dijumpai dalam perjalanan,” tutur Pak Autar dengan nada yang santai sekali. Ternyata pertanyanku membuat kedua temanku, Amar dan Faruq juga mendekat mendengarkan cerita dari profesor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dan dosen tetap di Universitas Negeri Surabaya.

Topik yang sangat menyentuh dibenak pikiran adalah tentang peryataan terkait mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus ternama. “Sudah saatnya orang Indonesia tidak besar dari nama kampusnya,” kata Pak Autar laki-laki bukan asli Surabaya tetapi cinta terhadap ludruk dan pernah mendapatkan pengargaan institusi pemberi tahun 1 setya lencana pengabdian 10 tahun presiden republik Indonesia sebagai delegasi Indonesia dalam festival teater Universitas Internasional ke 8 di Maroko.

Percakapan dengan laki-laki yang sudah memasuki usia senja, 54 tahun tidak habis-habisnya untuk didengarkan. Yang membuat saya tertawa dan tidak percaya, Pak Autar ternyata kawan lama dengan senior di Lembaga Pres Mahasiwa (LPM) Edukasi, Prof Akh. Muzaki dekan Fakutas Sosial dan Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.

Sembari berpamitan, kami berempat bersalaman, meninggalkan puncak penanggungan terlebih dahulu, seraya tersenyum dan tetap mengingat namanyanya yang memiliki filosofi tinggi, “Autar itu, nama yang mencakup semua elemin di muka bumi. Autar, air, udara, tanah, dan api,” tutur laki-laki yang sudah sejak lama menggeluti duni seni, sejak proses mendapatklan gelar sarjana di Universitas Negeri Surabaya.

Posting Komentar

0 Komentar