Bahar Zit, Pria Hidung Belang Kehidupan

Dok|Pribadi

Bagaimana hidup itu menyenangkan, kecuali satu. Menjadi sarjana muda dan baru melaksanakan prosesi wisuda secara daring. Inilah dampak Covid 19 atau lebih dikenal virus Corona. Sehingga semua dilakukan secara daring atau sesuatu hastag #diRumahAja. Ini padanan tulisan pembuka dalam linimasa Facebook manusia seperjuangan di salah satu organisasi yang terkutuk, tetapi tetap saja nyaman berada di sana.

 

“Kamu sekarang lagi berada di fase Quarter Life Crisis,” itu perkatannya Bahar, Timun, dan Kak Fahri di Warkop Gibol atau biasa Warkop Perempatan Tong Margorejo, Surabaya. Di bawah pohon yang cukup rindang, kami fokus sekali membicarakan terkait proses kehidupan manusia ketika menginjak umur 22-28 tahun sebagai krisis seperempat abad.

 

Itu beberapa inti pembicaraan dengan mereka yang sama-sama lagi menghamba kepada kebingungan. Pertemuan kali ini memang tidak patut dilupakan, apalagi harus disembunyikan kepada khalayak ramai. Bertemu dengan mereka, khususnya laki-laki dengan beberapa pesona yang sangat kharismatik.

 

Laki-laki ‘terpaksa aku tuliskan’ berdarah Madura-Kalimantan, dengan pesona kata-kata kotornya perlu kalian pikirkan dan didengarkan seksama. Bahkan kalian harus bersama laki-laki ini beberapa waktu, karena jika hanya tahu namanya “Bahar” kalian tidak menemukan pesona yang akan memikat kalian untuk mendengarkan ocehan-ocehan tak bermoral. Apalagi kalau sudah bersabda, mengalahkan tokoh-tokoh filsafat yang ia pelajari sekian tahun. Kalau soal rasa perlulah dicoba sambil menikmati kopi atau teh tidak apa-apa, setidaknya mencoba mengenalnya lebih dalam. Tanpa mengenal lebih dalam, kalian tidak akan merasakan kekuatan pesonanya.

 

Ada dua tipe manusia yang bisa bersama Bahar, manusia yang berwawasan ‘aku pengin muntah’ dan terbiasa bersama dengannya. Cukup dua indikator tersebut yang disepakati oleh kami ketika sore itu di Warkop Gibol. Tidak hanya itu, biasakan mendengarkan kata-kata kotor darinya. Tetapi ingat kotor itu tidak selalu najis.

 

Aku ceritakan beberapa segmen pertemuanku dengan si Bahar. Penampilannya sederhana, sampai-sampai saking sederhananya manusia takut melihat wajahnya. Itu kata timun. Tetapi soal kata-kata yang keluar dari mulutnya, kalian harus memikirkan sedemikian rupa atau butuh waktu memahami perkatannya. Ditambah, sebagai mahasiswa filsafat kalian akan lebih terpesona dari pada tutur kata yang kotor darinya.

 

Sebagai seorang kawan yang diikat dengan beberapa pertemuan, aku tetap akan siap mendengarkan cerita-cerita atau dongen-dongen indah yang Bahar parafrasa dari buku-buku tebal yang dibacanya. Aku tahu kok, Bahar ini kaya akan ide-ide yang cemerlang. Bahkan dalam kamus hidupnya tidak ada senior dan junior, semua rata, sama dan sederajat.

 

Aku kira akan sedikit tulisanku tentang dia ternyata aku keliru. Dia juga orangnya baik sekali dimataku. Ditambah menjadi wartawan di salah satu media, lihai dalam memasak, meracik pembicaraan, menghangatkan suasana, dan menghancurkan atau membubarkan forum adalah keahliannya yang patut dipelajari.

 

Dasar musuh, setiap musyawarah atau diskusi kecil kami selalu bertengkar, tetapi ujung-ujungnya mengiyakan pemikiran masing-masing yang dilontarkan. Aku cukup terheran, kenapa sih musuh seperti ini tetap saja nyaman kalau menikmati secangkir kopi atau the bersama. Terutama ketika segerombolan tim Warta Tretan bersama, pasti dia menjadi manusia paling bodoh. Kenapa menjadi manusia bodoh, karena dia tidak memiliki dukungan, eh ternyata manusia boodh itu ketika tidak memiliki dukungan bodoh, terus bagaimana dengan calon-calon DPR atau  pejabata negeri ini?


Sudah lupakan, kembali sama musuh-Bahar. Ada peryantaan yang saya dapati ketika KKN di Nusa Tenggara Timur, perpustakaan terbesar adalah diri sendiri, tetapi manusia lebih banyak membaca cerita-cerita orang lain. Untuk itu, aku menjadikan Bahar sebagai perpustakaan yang bisa membuat aku lebih pintar, katanya aku hanya cukup pintar.

 

Tersadar manusia butuh bayaran untuk mengulas cerita orang lain, saya kira dengan menulis ini, lebih bijaksana membayar tulisan. Bukankah ini yang sering kamu pelajari, kebijaksanaan menjadi manusia dalam menjalani kehidupan, kadang diatas dan dibawah.

 

Posting Komentar

0 Komentar