Negeri Utopia

Dok|Fopini.id

Gelar sarjana sudah didapati sejak bulan Agustus, bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia yang tercatata dalam sejarah terbebasnya dari penjajahan kerja rodi dan romusa. Walaupun berbeda tanggal, tetapi euforia peringatan sudah disiapkan oleh beberapa warga setempat untuk mengenang jasa-jasa pahlawah yang gugur dalam memperjuangan Indonesia. 


Sedangkan laki-laki dengan banyak kekurangan duduk di kos sendirian, merdeka dari tugas-tugas kuliah, tidak ada beban untuk mengerjakan tugas-tugas dari dosen dan kewajiban di beberapa organisasi yang ia ikuti selama menjadi mahasiswa.


Beberapa bulan sudah ia lalui dengan rutinitas perubahan. Terkadang tidak mesti perubahan yang bisa ia terima dengan hati lapang, terkadang juga perlu usaha sekuat tenaga dengan perubahan yang terjadi, dengan pikiran tidak menerimanya diserta pikiran-pikiran yang berat. Kalau sudah berada dititik kerapuhan ia mendatangi temannya, yang dikenal ketika mengikuti pengabdian di timor Indonesia, Nusa Tenggara Timur.


Banyak hal-hal baru yang ia jumpai setelah status mahasiswanya tuntas. Diantara pilihannya, kalau tidak melanjutkan kuliah dan bekerja, tetapi karena berasal dari pelosok desa dengan kemampuan ekonomi dibawah rata-tara, keputusannya hanya satu, bekerja. Ditambah masa-masa yang ia rasakan sangat berat untuk dijalani, setelah mengetahui cerita-cerita dan sedikit pengalaman menjadi seorang sarjana muda.


Ada beberapa momen yang sangat ia takuti, kembali ke kampung halaman dan berpindah ke kota lain dengan bekal pengetahuan sedikit dan harus pergi dari kota Pahlawan yang banyak memberikan pengalaman dan pengetahuan. Dua situasi itu membuat ia resah selama ini. Kota Surabaya yang sudah nyaman dengan kemacetan, banjir, taman-taman indah, gedung-gedung tinggi, dan teman-teman yang sangat ia cintai.


Selama beberapa bulan ini, ia menjalani rutinitas setia harinya, kalau tidak menulis puisi di media sosial atau diblog pribadinya yang berisi tulisan bermacam ragam. Tetapi akhir-akhir ini ia lebih banyak membaca buku-buku yang sudah lama ia beli. Selain itu, ia salah satu manusia yang merasa dikutuk oleh semesta untuk selalu menangis, sulit untuk mencintai dan ketika sudah mencintai ia tidak ingin mengecewakan.


*****

“Setiap seseorang akan mengalami sepertimu Al, keadaanmu sekarang ini juga dialami oleh ratusan, bahkan ribuan manusia. Kamu sekarang kembangkan potensimu yang kamu miliki. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri, jalani dan percaya setiap kemampuan yang kamu miliki,” tutur Yuniarta menatap Al dengan seksama, tatatapan mereka beradu, tetapi terlihat jelas kalau Al merasa hambar.


Di bawah kaki langit, bintang gemintang menghiasi dengan rasi-rasi indahnya, ditambah kerlap-kerlip beberapa bintang mengalahkan sinar-sinar dari rumah-rumah penduduk kota Pahlawan. Angin diatas langit-langit rumah tidak terlalu kencang, angin malam terasa nyaman membuat mata ingin tertidur sambil menikmati hamparan kota Surabaya dan sketsa langit bertelanjang.


Pembicaraan di loteng membuat Al dan Yuniarta semakin bebas berbicara apa saja. Terkadang Al kembali lagi bersedih, padahal ketika diajak naik ke loteng oleh Yuniarta terlihat senang sekali, karena sudah beberapa tahun ini Al tidak bisa melihat hamparan kota Surabaya dari atas. Raut wajah Al menyembunyikan kesedihan, kebingungan, kesakitan, dan banyak hal yang disimpan olehnya. Yuniarta mendekat, memandang lekat-lekat teman yang baru dekat akhir-akhir ini. Yuniarta kembali lagi menatap Al, tatapannya sekarang berbeda ingin rasanya Yuniarta bertanya dan mengurangi kesedihannya.


“Kamu sebenarnya kenapa Al?” Tanya Yuniarta dengan intonasi nada suara pelan-pelan.


“Aku bingung sekali Ta, akhir-akhir ini,” tutur Al sederhana sekali, membuat Yuniarta semakin bingung dan berusaha supaya Al tidak lagi memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi.


“Minggu kemarin aku dihubungi oleh Ana. Saya kenal lima tahun lalu ketika aku menjadi relawan di desanya. Sekarang ia menghubungi saya lewat Instagram, beberapa kali saya sering berkomunikasi dengan Ana. Kelihatannya dia mengharapkan saya secepatnya.” Al bercerita kepada Yuniarta dengan rasa bimbangan dan sedih. Yuniarta terdiam, sesekali menatap langit yang sedang indah dan menikmati sebatang rokok yang dibeli di toko sederhana saat pergi membeli nasi.


“Al, aku percaya ini keputusan yang sulit bagimu. Tetapi kamu harus percaya terhadap apa yang terjadi nanti. Sekarang ini, jika kamu bingung pikirkan baik-baik lagi. Bukannya aku menakut-nakuti, katanya kamu ingin melanjutkan kuliah dan bekerja. Jika kamu sudah yakin keputusanmu untuk itu, cobalah lakukan. Percaya semuanya kamu pasti bisa melewati semua ini.” Ucap Yuniarta kembali memalingkan pandangannya dari wajah Al yang lemas. Udara yang cukup panas membuat Al gerak dan membuka jaket yang ia kenakan sedari tadi.


“Menikah itu bukan hanya soalnya hidup berdua, saling melengkapi, dan menghilangkan kebingungan. Menikah bukan hanya itu dan itu, tetapi banyak yang perlu kamu persiapkan dan dipikirkan,” susul Yuniarta menoleh kepada Al, tetapi yang dilihat padangannya tertuju kebawah.


“Mungkin semua ini tinggal cita-cita usang, yang harus aku buang jauh-juah.” Kata al tertunduk sambil memejamkan mata rapat-rapat, kelihatannya ia menahan air mata supaya tidak terjatuh.


*****

Suara-suara beberapa penduduk sedang melakukan tahlilan mendoakan salah satu warga yang meninggal dunia. Suara itu, terdengar jelas di telinga Al dan Yuniarta. Sambil duduk berdua di samping kos lantai dua, menyaksikan lalu lalang warga setempat pulang dari kerja dan anak-anak bermain lari-larian dengan suara cukup keras membuat tertarik Al dan Yuniarta melihatnya. Mereka terlihatnya sangat bahagia tidak mempermasalahkan duka salah satu warga yang ditinggal olah ibunya.


Beberapa hari setelah melewati kebingungan-kebingungan Al menyibukan diri dengan membaca dan mengikuti beberapa permasalahan lingkungan yang diperdebatkan oleh pemerintah. Dari media cetak, online, dan beberapa media sosial banyak diributkan. Permasalahan kawasan Pulau Komodo, hutan, lingkungan, dan banyak lagi yang sedang menjadi perdebatan di bermacam media.


“Teringat cerita-cerita orang tua di rumah. Dulu sebelum seperti ini pulau-pulau di Indonesia khususnya sangat terjaga kelestarian flora dan faunanya. Sumber air yang bersih, udara yang bagus, dan pulau-pulau yang indah,” cerita Yuniarta sangat serius sekali, sedangkan Al memandang dan mendengarkan dengan seksama. Konon kalau orang kota ketika berbicara harus ditatap wajahnya, berbeda dengan orang desa harus menunduk jika berbicara dengan yang lebih tua.


“Sebelum hutan di samping rumah saya dibangung pabrik dan kendaraan keluar masuk hutan. Tidak ada lagi burung-burung terbang ke teras rumah, tidak ada lagi bunyi-bunyi saling sahut menyahut binatang dan lebih parahnya sumber air bersih sulit didapati,” tutur Yuniarta termenung dan terlihat sedih menyaksikan kerusakan alam yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini.


“Yuniarta, saya berpendapat, kemungkinaan besar adalah atas nama kepentingan,” kata Al memandang kembali ke wajah Yuniarta yang sejak tadi termenung.


“Berbicara kepentingan memang sangat mungkin, semua yang terjadi di alam Indonesia demi kepentingan individu dan kelompok. Yang berkuasa dan memiliki uang adalah kunci untuk hidup di Indonesia, apa yang diharapakan akan didapatkan semuanya. Hanya dua itu jalan keluar untuk menguasai Indonesia,” kata Yuniarta tegas dan langsung terdiam, suaranya tenggelam dilangit-langit teras kos yang ditempatinya selama tiga tahun berjalan.


“Negeri impian akan segera hilang.” Kata hati Al tertunduk, disusul keramain suara burung dari rumah-rumah di samping kos Yuniarta.



*Cerpen ini pernah dimuat di media online FOPINI.ID 16 November 2020 link klik di sini

Posting Komentar

0 Komentar