Di Bawah Kaki Gunung Mahameru

Dok|Fopini.id

Di bawah kaki Gunung Mahameru aku dilahirkan, dari pasangan laki-laki keturunan suku Madura dan perempuan yang memiliki garis keturunan seniman handal, terkenal dan berpengaruh. Ayahku orang Madura, tetapi sudah menetap di sini, semenjak dari kakek buyutku tinggal di Kota Pisang. Sedangkan ibu, tidak ada darah Madura sedikitpun, meskipun sedikit bisa dan paham bahasa Madura, jarang sekali aku melihat ibu berkomunikasi sama ayah dan anak-anaknya berbahasa Madura. Bedahalnya ayah, ayah sering kali menggunakan bahasa Madura ketika dengan anak-anaknya.



Aku terlahir dengan tujuh bersaudara, laki-laki dua dan perempuan lima. Aku tidak terlahir menjadi anak sulung ataupun anak bungsu, juga bukan anak tengah. Aku anak laki-laki kedua kebanggaan ibu dan terlahir menempati urutan yang keenam. Jadi aku tidak merasakan apa yang dirasakan anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Yang aku tahu, aku anak laki-laki kedua dari tujuh bersaudara.


Menjadi diriku sendiri sangat susah, menyakitkan, membingungkan, dan membosankan. Bagaiman tidak merasakan hal-hal seperti itu? Ayah yang menjadi tokoh atau orang terpandang di desa membuat aku tidak nyaman. Apalagi usia dengan saudara laki-laki satu-satunya terpaut sangat jauh. Seringkali tamu-tamu berdatangan ke rumah, menemui ayah untuk berdiskusi dan meminta masukan terkait permasalahn-permasalahan yang terjadi di keluarganya.


Ada kalanya ayah tidak berada di rumah, ketika ada tamu setidaknya ada yang menemani dan menyambut layaknya tuan rumah bersikap pada tamunya. Jika ada kakak, aku merasa terbebas dari beban yang sangat besar. Kakak sering berada di rumah, aku aman berada di kamar sendirian dengan duniaku sendiri. Tetapi ketika ayah dan kakak keluar ada urusan keluarga aku yang menggantikan rutinitas kakak.


*****

“Kamu ini kok susah sekali bertemu dengan orang, kamu ini sudah menjadi mahasiswa. Apa susahnya sih menemani tamu. Cuman nemani sebentar jangan lama-lama,” kata kakakku sedikit membentak kepadaku. Kakak terlihat kecewa dengan sikapku, yang susah sekali bertemu dengan orang baru yang dikenal.


“Ragil, jadi laki-laki itu jangan diam-diam saja di rumah. Main-mainlah ke tetangga atau keteman-temanmu. Mumpung liburan semester,” tutur ayah datar. Perkataan ayah sangat menusuk hati dan pikiran, orang yang aku takuti juga bisa menyakitiku.


Kabut pekat menyelimuti malam, udara dingin menusuk sum-sum tulang. Suara-suara penduduk satu dua terdengar di kejauhan. Tidak ada angin yang kencang, hanya bunyi-bunyi binatang malam yang sahut-sahutan. Aku duduk sendiri di teras, ayah dan kakak sudah sedari tadi masuk ke kamar masing-masing. Di sela-sela sendiri, aku menahan air mata supaya tidak keluar.


Pulang ke kampung halaman sering aku rindukan, kenangan-kenangan di tanah kelahiran sangat banyak terekam dan dijalankan. Namun saat di rumah, yang aku rasa nyaman, tentram, dan tempat aku menjadi diriku terkadang menyakitkan. Ayah dan kakakku sering menyudutkan tindakan-tindakanku yang sering di kamar, sibuk membaca dan menulis. Apalagi malam-malam yang sepi sekali, aku kadang tidak bisa menerima kedaan, susah sekali bersama orang.


Jika aku mau berbicara dengan kakak dan ayah, akhir-akhirnya aku harus terdiam dan kembali ke dalam kamar. Jika ayah dan kakak mengetahui apa yang aku rasakan, mungkin mereka mendukung dan memberikan masukan-masukan. Ayah dan kakak, andai kalian tahu jika aku mengikuti acara atau berkumpul dengan orang banyak, setelah itu aku merasa tumbang.


Terkadang saat mengikuti kegiatan organisasai kampus atau bertemu dengan teman-teman angkatan. Setelah itu aku terkapar, tidak bisa berbuat apa-apa, aku merasa kekuatan yang aku miliki terkuras habis. Apalagi kalau sampai mengikuti kegiatan yang melibatkan orang banyak sampai satu minggu penuh. Aku membutuhkan waktu 24 jam untuk beristirahat, minimal dalam satu minggu ada satu hari untuk aku sendiri, memulihkan kekuatan-kekuatan yang terkuras habis.


Pernah suatu ketika sore-sore pulang dari kampus berjalan kaki menuju kos. Aku menunggu temanku yang kuliah dijurusan Psikologi, kemarin-kemarin aku menitipkan pertanyaan untuk ditanyakan kepada salah satu dosen Psikologi. Aku duduk di kursi trotoar yang sudah disediakan oleh pemerintah setempat, lalu lalang mahasiswa lari-lari kecil dan ada yang mengeluh karena dosennya tidak memberikan nilai jika sering terlambat masuk kelas. Ada juga yang curhat ditinggal pasangannya, terus ada juga yang pulang sendirian terlihat murung dan gontai langkahnya.


“Intan, gimana kata dosenmu?” tanyaku kepada Intan di sebelah, duduk sambil menyeruput es kelapa yang dibelinya.


“Ragil, kata dosen kamu itu memang memiliki kelain dalam berkomunikasi. Emang kamu lebih nyaman berbicara lewat tulisan. Kamu kan susahkan kalau bertemu dengan orang, apalagi orang yang belum kamu kenal. Tapi kamu itu akan nyaman ketika sama orang yang benar-benar kamu kenal,” tutur Intan memandangku serius. Aku terdiam, setelah mendengar penjelasan Intan setidaknya akau sedikit memahami kepribadian yang berbeda dengan teman-teman.


*****

Terlihat jelas gaganya Gunung Mahameru dilingkari awan membentuk cincin indah. Di bawa kaki gunung tertinggi di Pulau Jawa tanah kelahiranku, desa Sumbermujur yang terkenal dengan Hutan Bambu yang menawan di bawah kaki Gunung Mahameru. Aku dan keluarga menikmati sarapan pagi ditemani kripik pisang dan gorengan yang disisi pisang, tidak lupa molen kecil-kecil menjadi teman kopi dan teh hangat bagi hari.


“Adam, nanti ayah mau keluar, jika ada tamu tolong ditemani iya,” kata ayah ketika ibu masuk ke dapur. Kak Adam mengiyakan dan melirik ku yang terdiam.


Di dalam hatiku merencanakan akan pergi dengan salah satu kawan, jika memang ayah pergi supaya kakak tidak pergi juga. Pernah ayah meminta kakak tidak pergi karena akan ada tamu berkunjung, namun kakak pergi mendadak. Seketika aku yang harus menemani dan menyambut tamu, bukan aku tidak mau, tetapi aku sedikit marah pada ayah. Apa-apa pasti kakak, ada masalah ini kakak, ada kepentingan ini kakak, dan ketika musyawarah pasti kakak yang diminatin saran. 


*****

Desa yang berada di bawah kaki Gunung Mahameru, sering teman-teman kunjungi dengan nuasan alam dan budaya yang beragam. Tidak hanya itu, tempat kelahiraku yang tepat di bawah kaki Gunung Mahameru atau atap Pulau Jawa. Dari desaku, Sumbermujur menuju kota kecamatan memerlukan sekitar setengah jam atau satu jaman, apalagi mau berpergian ke terminal butuh dua jam kurang lebih jika menggunakan kedaan roda dua.


Sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengsiasati agar kakak tidak pergi dari rumah. Aku ingin sekali pergi menikmati tempat destinasi wisata desa Sumbermujur. Rasanya sudah lama tidak melakukan perjalanan dan menikmati keindahan semenjak kuliah di kota terbesar kedua di Indonesia. 


“Ragil,” suara Kak Adam terdengar nyaring. Dengan bergegas cepat aku menuju sumber suara.


“Ada apa kak?” Tanyaku datar.


“Nanti kamu jangan keluar. Aku ada janji sama teman kakak,” pinta kakak sambil menikmati kopi buatan ibu.


“Maaf kak, Ragil rencananya mau pergi,” kataku sedernaha. Sontak membuat kakak terkejut, gelas di genggamannya terjatuh menimbulkan suara.


“Ada apa Ragil?” teriak ibu dari dapur serta berlari-lari kecil menuju ruang tamu.


“Aku mau keluar kak,” kataku kembali tidak menghiraukan gelas yang pecah.


“Ragil, kamu di rumah saja, biar kamu belajar menerima tamu,” kata Kak Adam santai tanpa merasa bersalah menjatuhkan gelas.


“Tidak Kak. Ragil mau keluar,” kataku sederhana dan meninggalkannya sendirian di susul ibu menemui kami. Aku berlari-lari kecil menju kamar dan diikuti ibu pelan-pelan.


Aku duduk di kursi menghadap keluar, pemandangan Gunung Mahameru terlihat setengah. Hari ini tidak terlalu panas, matahari juga terhalang oleh gerombolan awan-awan. Sesekali bunyi burung-burung terdengar, sepertinya burung pemberian salah satu tamu sudah mulai bersuara. Aku duduk temenung memandang jauh lewat jendela. Suara lengkah kaki menujuku, aku berpaling ke belakang, ternyata ibu membuntutiku.


 “Kamu sebenrnya kenapa Ragil?” Tanya ibu sambil mengelus-ngelus tanganku.


Aku memang menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan kepada ibu. Sebelum kembali lagi ke kota untuk melanjutkan kuliah. Aku pun menceritakan, aku sebenarnya juga bisa berbuat seperti ayah dan kakak, bertemu dengan orang, berkomunikasi, berkumpul, dan melakukan interaksi lainnya. Tetapi aku tidak bisa sembarangan orang, aku hanya bisa kepada orang-orang yang aku merasa nyaman dan terbuka. 


“Ibu, aku hanya meminta sedikit kepercayaan kalau aku bisa lebih dari mereka harapkan,”  tuturku kepada ibu sambil memegang tangan dingin yang selama ini menjadi orang paling dekat  denganku.


*Tulisan ini pernah dimuat di media online Fopini.id, 24 Februari 2021 selengkapnya bisa diklik di sini.

Posting Komentar

0 Komentar