Membuka Skripsi, Membuka Toleransi

Dok|Pribadi

Peristiwa tidak seharusnya dialami warga Syiah atau biasa disebut Syiah di kabupaten Sampang, Madura. Tindakan penyerangan dan pengusiran tidak selayaknya manusia lakukan terhadap manusia. Apalagi kasus intoleransi ini dilakukan sesama umat Islam, bagaimana nanti terhadap agama lain?. Semacam peradaban yang hancur, jika tak ada toleransi untuk merudupkan emosi tidak bernurani.

Dok|Tempo.co
Gambaran kecil warga Syiah Sampang ditagani oleh Personel Brimob dari tempat persembunyiannya.

Tepat tahun 2013 atau sembilan tahun lalu kejadian itu dialami oleh warga Syiah Sampang. Pertikaian sesama umat Islam berujung pada luka besar dan dampak-dampak besar di berbagai sudut pandang dan ekosistem sosial, khususnya bagi warga Syiah Sampang. Terlebih lagi bagi seluruh umat Islam di Indonesia.

Percakapan-percakapan tentang toleransi sering aku lakukan dengan senior organisasi-Lembaga Pers Mahasiswa Edukasi. Sebagaimana senior di organisasi, tentu lebih banyak wawasan dan pengalamannya dan sudah sewajarnya berdiskusi berbagi ilmu dan pengalaman. Sebab hanya dengan berdiskusi menemuman titik yang salah dan tidak baik, sampai menemukan yang benar dan yang baik serta sesuai hati nurani.

Dok|LPM Edukasi
Mbak Zul (pegang notbook) ketika meminpin diskusi di LPM Edukasi.

Awal percakapan, sering kali dilakukan ketika kajian, sehabis kajian, setiap hari Sabtu atau dilakukan di sekretariat Edukasi dan warung-warung kopi sekitar Wonocolo. Kasus Syiah di Sampang merupakan percakapan awal dengan Mbak Zul-Aminatuz Zulfa. Sebagai alumni Serikat Jurnalistik Untuk Keberagaman (Sejuk) tahun 2017 membuat aku lebih tertarik lagi, kenapa hidup harus bertoleransi?

Ada beberapa cerita yang aku dapati, tentang Penghayat Sapta Darma. Tidak sampai disitu, ternyata intoleransi juga terjadi di dunia pendidikan, khususnya praktisi pendidikan, pendidik dan peserta didik juga mengalami atau menjadi pelaku intoleransi. Dari cerita tersebut, aku memberanikan diri meminta buku-buku yang membahas terkait toleransi dan yang berkaitan dengan pendidikan.

Perjalanan Bertoleransi
“Orang selain beragama Islam itu harus mati, yang tidak beragama Islam orang kafir, mati ketika membunuh orang selain orang Islam adalah mati syahid,” pemahaman itu aku pendam selama belasan tahun. Bahkan bertahun-tahun pemikiran seperti itu bersarang, tidak pernah aku utarakan kepada teman-teman atau saat ikut kajian dan di forum-forum diskusi.

Dok|Gusdurian
Saat mengikuti Kelas Pemikiran Gusdur (KPG).

Dok|Abdullah
Foto bersamaa ketika selesai acara diskusi di Mbah Cokro.

Dok|Pribadi
Diskusi tentang keragaman gender dan bedah buku.

Dok|Pribadi
Diskusi tentang keragaman gender perspektif agama Islam.

Selama menginjakan kaki di Surabaya, aku pun sangat amat tertarik isu-isu tentang toleransi. Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan dan toleransi atau akar-akar pemikiran tentang pendidikan, sering kali membuat aku linglung setengah hati. Antara teori pendidikan dengan praktik lapangan masih ada intoleransi yang membumi.

Tidak puas hanya membaca dan diskusi dengan Mbak Zul. Aku beranikan diri mendaftar di pelatihan-pelatihan khusus beberapa hari, membahas kenapa kita harus hidup bertoleransi?. Ada beberapa organisasi yang melestarikan dan menjaga pemahaman dan berprilaku toleransi, Gusdurian Surabaya, Serikat Jurnalitik Untuk Keberagaman, Duta Damai Jawa Timur, dan beberapa diskusi yang dilakukan oleh Arek Feminis, Gayanusantara, dan diskusi di warung kopi Mbah Cokro atau Indonesia Masih Ada, menjadi tempat diskusi dengan ragam pembahasan.

Dok|Pribadi
Diskusi lintas agama di salah satu gereja di Surabaya Selatan.

Dok|Sejuk
Pelatihan jurnalis kampus tentang jurnalistik keberagaman.

Dok|Duta Damai Jatim
Pelatihan tentang pemamahan tentang bahaya terorisme dan pentingnya hidup bertoleransi.

Warung kopi Mbah Cokro, memang bisa menemukan sedikit Indonesia dan manusia tidak membeda-bedakan latar belakang, apalagi agama terkadang menjadi alasan untuk tidak bersama. Berangkat dari latar belakang berbeda, tidak membuat sekat yang jauh. Selama aku memperhatikan dan menikmati menunya, melihat dan mendengar semua tersenyum, sangat berbeda dengan warung kopi pada umumnya. Bahkan aku tahu, penikmati kopi Mbah Cokro bukan orang biasa-biasa, tetapi menjadi manusia yang biasa-biasa.

Isu Toleransi, Menjadi Skripsi
Mengingat tulisan resensi buku yang pernah dimuat di media cetak Koran Kabar Madura “Pendidikan Multikultural Sejak Dini; Jalan Indonesia Yang Berwarna-Warni” . Keinginan membuat skripsi dengan menggunakan studi literasi atau menganalisis buku “Transformasi Pendidikan Multikultural Di Sekolah” karya Dani Nurcholis. Ada tiga judul dengan latar belakang berbeda aku ajukan ke Kamprodi, tetapi judul yang aku harapkan ditolak, karena lebih diutamakan penelitian lapangan.

Dok|Pribadi
Potret judul skripsi yang temah di acc oleh dosen.

Judul skripsi setengah hati aku memulai mengerjakan, apalagi mau menyelesaikannya. Dengan berat hari menyelesaikannya, apalagi melihat teman-teman sudah seminar proposal dengan foto-foto dan senyum sumringan semakin tersakiti. Bersama dengan semangat dan sepotong hati, akhirnya aku menyelesaikan proposal skripsi dan bisa berfoto-foto ria bersama teman-teman.

Tidak sampai disitu, untuk menyelesaikan revisi butuh berminggu-minggu. Menyibukan diri dengan membaca dan menulis atau berdiskusi, tetapi godaan jalan-jalan adalah paling utama. Namun, keadaan memaksa harus menyelesaikan revisi proposal skripsi. Alasannya karena ingin ikut Kuliah Kerja Nyata Nusantara di Nusa Tenggara Timur.

Toleransi dan Skripsi
Sehabis selesai KKN, disibukan dengan melanjutkan skripsi yang terhenti. Bab satu sudah selesai, menyusul bab dua yang cepat selesai dan akhirnya bisa menyelesaikan bab tiga dan tinggal satu bab lagi terkait pembahasan. Meskipun banyak cerita ketika menyelesaikannya. Disetiap diajukan, revisi berkali-kali tidak membuat berhenti untuk menyelesaikannya. Apalagi harus ditunggu dan ditunda untuk diselesaikan segera, jika tinggal beberapa langkah untuk menyelesaikannya.

Dok|Pribadi
Percakapan dengan dosen tentang membuat skripsi baru dan pengajuan judul yang tidak acc.

Kabar dan menyebarnya virus Covid-19 salah satu jalan Tuhan yang benar-benar memiliki dan menyiapkan rencana lain. Skripsi tinggal selangkah lagi harus dihentikan dan membuka skripsi baru lagi. Butuh satu bulan untuk menerima kenyataan ini, kenyataan tidak bisa observasi ke lembaga atau sekolah yang menjadi objek penelitian. Akhir bulan Maret 2020 berusaha bangkit kembali, tiga judul skripsi penelitian literasi ditolak dengan alasannya sering dibahas. Tidak sampai disitu, titik terendah untuk menyelesaikan skripsi semakin purna, waktu semester genap sudah tinggal tiga bulan.
Dok|Pribadi
Pengajuan judul skripsi dan mendapatkan sambutan hangat untuk segera di selesaikan.

Aku pun terbangun kembali pada pertengahan bulan April mengajukan judul kembali. Kali ini tidak tanggung-tanggung, mengirim enam macam judul skripsi. Beruntung untuk judul "Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Dalam Konteks Toleransi di Desa Pariti Kecamatan Sulamu Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur" akhirnya diterima dan diminta secepatnya menyelesaikan proposal.

Narasi Toleransi dari Pariti
Ketika melakukan wawancara online dengan beberapa narasumber dengan latar belakang beragama Islam dan Kristen Protestan dan Khatolik banyak pelajaran aku dapati, tentang hidup bertoleransi. Narasi dari desa Pariti memang sangat menginspirasi. Jejak toleransi di Pariti masih ingin aku bagikan dan berteriak lewat tulisan, kalau dari setiap perbedaan bisa hidup berdampingan.
Dok|Pribadi

Hasna Tenge, pendidik di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Sulamu adalah perempuan menggunakan kerudung satu-satunya di dusun II. Selama hidup dan menjadi guru di Pariti menceritakan perjalanan panjang menjadi minoritas muslimah. Aku tertegun, ketika bercerita saat berjumpa dan melakukan wawancara.

“Ketika mendengarkan lonceng berbunyi dan tidak ada masjid di desa Pariti saya merasa berat. Selain itu, yang menjadi Muslim minoritas, tidak menyurutkan untuk melaksanakan ibadah. Saya mengsiasati selalu menghidupkan alarm Hp sebagai pengingat waktu salat. Walaupun menjadi muslimah dan satu-satunya perempuan muslim yang berkerudung, tidak membuat saya dipandang sebelah mata. Pernah suatu hari dan sudah menjadi kebiasaan ketika memasuki waktu salat, saya pulang ke rumah dulu dan kembali lagi ke sekolah. Namun, teman-teman tetap menghormati dan menghargai saya ketika pulang untuk melaksanakan ibadah,” tuturnya dengan wajah sumringan dan intonasi yang ringan, seperti tidak ada beban ketika bercerita.

“Saling mengunjungi antar umat beragama. Dua bekerja sama dalam membangun rumah ibadah antar agama. Tiga dialog antar tokoh. Menjalin silaturrahmi antar umat beragama. Dua dialog antara umat beragama,” tambah Ibu Hasna panggilan akrabnya. Itulah salah satu cerita perempuan Muslim untuk menjaga kehidupan yang harmonis.
Dok|Pribadi

Mama Pendeta, panggilan setiap bertemu dan berkomunikasi dengannya. Nama lengkapnya Santi Djami, Pandeta Umat Kristen Protestan di dusun III suku Sabu. Aku paling banyak berdiskusi dengan Mama Pendeta, bahkan ketika selesai wawancara pada 8 Juni 2020 diisikan pulsa 50, katanya mau bantu mahasiswa yang lagi mengerjakan skripsi.

“Kalau salah satu bentuk hidup bertoleransi di Pariti misalnya, seperti ada pesta, kemudian ada beberapa tetangga yang Muslim, maka daging itu harus dipotong oleh tetangga yang Muslim,” cerita Mama Pendeta dengan nada seperti memberikan khutbah di gereja pada hari Minggu. Perkataanya mengingatkan pada ajaran Islam, tidak boleh disembelih selain dengan cara Islam.

Tidak lepas dari itu, Mama Pendeta salah satu pendeta banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupannya. Terkadang Mama Pendeta mengulas dari Al-Kitab tentang toleransi. Ia juga ingin sekali, menghapus stigma negatif terkait hidup berdampingan dengan penganut agama yang berbeda.

“Soal bagaimana menjaga hubungan toleransi yang pertama adalah jangan egois. Jangan egois lalu memandang orang lain sebelah mata. Jadi hidup bertoleransi itu kita benar-benar harus membuka diri untuk mengakui bahwa orang lain mempunyai kelebihan yang bisa melengkapi kita. Jadi kalau mau hidup dalam sebuah keharmonisan, mau tidak mau kita harus mulai belajar untuk tidak egois dalam menjalani hidup,” ceritanya. 
Dok|Pribadi

Sebagai tokoh dari agama Islam, Pak Syamsul Gole satu kali dipertemukan dalam acara mette atau tahlilan dalam agama Islam. Tak banyak yang aku bicarakan, selain jarang bertemu juga kesibukannya selama di Parti membuat tidak banyak berkomunikasi. Namun dari sedikit cerita tentang Pariti mayoritas beragama Kristen tidak membuat Pak Syamsul memiliki cerita buruk.

“Saling gotong royong ketika ada kegiatan sosial. Jika ada acara kematian, umat Islam dan  Kristen saling membantu menggalikan kubur, hajatan, kematian. Juga menyiapkan acara-acara keagama yang diadakan setiap agama yang ada,” katanya saat-saat wawancara dan diskusi paling panjang dengannya.
Dok|Pribadi

Sorks Stefanus Pellokila, menjadi papa angkat kedua dan menjabat Sekretaris Desa Pariti. Aku dan teman-teman sering ke rumahnya selapas kegiatan. Ada hal yang membuat aku betah berlama-lama di rumah Papa Sekdes, bebas bercerita, tempat bercanda paling seru, makan jajan enak, dan kehangatan Mama Sekdes atau isteri Papa Sekdes. Cerita dari mereka berdua, menjadi bekal dan pengukuh rasa toleransi dimasa depan.

“Acara yang memadukan Kristen dan Muslim di Pariti, seperti kegiatan gereja dalam sidang kalsis gereja selalu mengundang pemuka agama dari Muslim untuk sama-sama membuka kegiatan tersebut. Tiap kali hari raya umat Kristen juga selalu mengundang umat Muslim, begitu pula sebaliknya hari raya umat Muslim selalu mengundang umat Kristen. Mengundang karena rasa persaudaraan antar sesama dan saling menghargai. Adapaun untuk makanan selalu dipisahkan antara Muslim dan umat lain. Jika hajatan di Kristen, maka khusus untuk Muslim disembelih oleh orang Muslim sendiri,” ucapnya dengan senyum hangat dan rindu yang mendalam.
Dok|Pribadi

Untuk cerita tentang toleransi dari Kak Andrey Joetro Radja. Aku biasa memanggil dengan sebutan Kak Rey, mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana) yang banyak memberikan wawasan baru terkait kultur agama, sosial dan budaya masyarakat Pariti. Bahkan sebagai pemuda gereja, Kak Rey mengalami hal-hal yang tidak biasa di Pulau Jawa atau jarang terjadi.

“Dari pengalaman saya pribadi, saya juga pemuda gereja. Jadi disaat kita dalam kegiatan-kegiatan yang ada lingkup keagamaan. Disitu toleransi dimana dari agama yang lain membantu untuk melancarkan kegiatan, seperti contohnya, bahwa melancarkan lalu lintas kegiatan agama lain, seperti kegiatan Natal gereja disitu teman-teman agama Islam membantu untuk mengatur tata tertib lalu lintas dan pengaturan parkiran motor dalam gereja, sebaliknya begitu, kita juga timbal balik terhadap umat Islam.” Cerita Kak Rey kepadaku sambil mengenang masa-masa di Pantai Nunsui, suara ombak, senja yang merah, dan diskusi panjang.

"Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan kebersamaan kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang diselenggarakan KBBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di  sini“.

Posting Komentar

0 Komentar