Manuskrip Kuno Kepada Kekasih (2)

Dok|Interner

Pagi tadi kota yang telah menjadi tempat untuk aku bertumbuh diselimuti awan. Bukan awan, kabut yang lebih dekat dengan bumi. Sepertinya langit sudah tidak bersahabat apa yang dikirim oleh bumi selama ini. Mungkin, langit tak kuasa dengan perbuatan-perbuatan manusia bumi lakukan. Memang banyak pembakaran, hutan gundul, sampah berserakan, pembangunan gedung tinggi mencakar langit, pabrik-pabrik, dan eksploitasi besar-besaran akan kekayaan alam.


Tidak masalah tentang apa yang terjadi hari pada alam ini. Ada yang lebih parah, atau aku memang tidak bisa, tidak baik, dan kesalahan terbesar untuk bertumbuh ditempatku sekarang? Seakan-akan hari-hari penuh dengan pemandangan menakutkan dan siap menerkam psike akhir-akhir ini. Entah apa yang terjadi, aku sudah tidak mau tahu kenapa rasanya berat sekali menjalani proses untuk tumbuh lebih cepat atau menunggu waktu yang tepat saja.


Akhir-akhir ini kenapa kamu tidak pernah menjawab pesan-pesanku? Kenapa diskusi-diskusi kecil kita kau akhiri begitu saja? Mungkin aku menjadi penggangumu di sela-sela kesibukan dan rutinitasmu? Entah apa yang telah kamu rasakan, yang jelas terkadang aku menyesal mengenalmu lebih jauh dari pada orang lain.


Terlalu banyak harapan-harapan yang aku gantungkan padamu, padahal kamu tidak bertanggung jawab atas kebahagiaanku dan rasa nyamanku selama ini. Kamu pantas tidak menjawab pesan-pesanku seperti tahun lalu. Tak mengapa diskusi kecil kita dianggap angin lewat dan hilang saat bumi benar-benar petang. Batasan-batasan yang kamu buat terlalu kokoh untuk aku robohkan. Prinsip-prinsip yang kamu pegang terlalu kuat kamu jalankan. Lagi-lagi aku suka pada sikapmu, membuat aku semakin yakin, kelak seperti apa ketika menghabiskan cerita kehidupan.


Sekali lagi, kamu tidak bertanggung jawab atas kebahagiaanku. Ini hanya kekesalan-kekesalan yang aku alami selama ini. Sebenarnya waktu bertemu diakhir bulan lalu, aku sudah yakin kalau aku akan baik-baik saja. Tetapi itu tidak sesuai apa yang aku duga. Semenjak tak pernah bertatap muka, aku bisa membiasakan teringat tentangmu. Karena jika melupakan sangat sakit rasanya. Jadi, aku terbiasa mengingatmu, lambat laun cara itulah menghantarkan untuk melupakan.


Padahal aku hanya beberapa kali bertemu denganmu, beberapa kali berdiskusi serius dengamu, dan beberapa kali aku memikirkan seperti apa nanti. Kamu terlalu kuat untuk aku tinggalkan begitu saja. Terlalu petang menjalani kehidupan tanpa mengingatmu sebagai penerang hari-hariku.


Kamu yang belum jelas kepadaku. Aku terus berlanjut akan pertemuan tidak sengaja dan harapan-harapan kosong bisa lebih lama mendengarkan cerita hari-harimu. Tak tahu seperti apa rupa yang sebenarnya dirimu, kalau bukan pernah bertemu, mungkin aku akan menjelma orang yang bisa memeluk gunung tinggi.

Posting Komentar

0 Komentar