Roti Bakar Untuk Kakak

Dok|Pribadi

Pernahkah kau merasakan kekhawatiran terhadap orang lain. Melebihi kekhawatiran terhadap dirimu sendiri? Sampai-sampai tidak memikirkan kekhawatirannya tidak berpengaruh sama sekali. Tinggal puing-puing kesedihan, kekecewaan, dan mengembalikan semua yang tidak bisa dikendalikan kepada pemutar kota malam dan siang.


“Aku harus sudah sampai di sekitar rumah yang aku sewa sejah dua tahun ini, selama menjadi mahasiswa sampai menjadi karyawan,” kata hatiku kepada rintik-rintik hujan berjatuhan. Sepertinya bumi telah terkabul doa-doa sepanjang panas, akhirnya rindu kepada hujan dipertemukan. Apalagi pertemuan mereka tepat bulan kemerdekaan bumi. Kurang lebih 350 tahun bumi dijajah oleh enam negara dari seluruh penjuru dunia.


Lampu-lampu sudah redup, gelap di sudut-sudut restoran dengan cat oranye pekat. Pengungjung sudah pada pulang, hanya menyisakan tiga orang, satu laki-laki dan sepasang pasangan masih hangat berdiskusi atau bercerita tentang hari-hari yang melelahkan. Aku mendengar samar-samar, kalau malam sudah tidak bersahabat bagi semua orang. Pembatasan malam bagi semua orang banyak menimbulkan permasalahan. Terutama bagi mereka yang sedikit modal mencari penghasilan di waktu malam. Mulai dari warung makanan, toko-toko serabutan, penjual nasi goreng, penjual gorengan dan banyak lagi kisah-kisah yang tak bisa dituliskan.


Ternyata hujan semakin lebat, rintik yang jarang, kini semakin cepat memenuhi undangan bumi yang sedang sakit. Kerusakan iklim semakin hari semakin menjadi-jadi, sampai hujan tidak lagi diharapkan manusia kembali. Aku juga bingung, sambil memaikan gawai melihat pesan dari setiap kiriman, beberapa aku balas dan didiamkan. Hanya yang paling dirasa penting aku dahulukan, sambil menunggu hujan kembali pulang.


Teringat ingin cepat-cepat pulang, akhirnya menerobos hujan. Padahal sama teman-teman sudah diperingatkan, untuk pulang setelah hujan. Tetapi aku sudah putuskan, untuk membelikan makanan kepada kakakku di kediaman. Aku hidupkan sepeda motor, sambil merasakan dinginnya hujan, ditambah angin malam menjelajahi kulit, memaksa masuk lewat baju dan jaket tebal. Tak ada mantel, karena tertinggal, dikira Agustus tak akan ada hujan atau gerimis di malam petang.


Tepat hujan semakin redup, aku cepat-cepat menerobos setiap angin dan hujan. Dipikiran hanya membeli roti bakar untuk dimakan berdua. Tidak hanya itu, memastikan kakakku dalam keadaan baik-baik dan tetap tersenyum seperti terakhir pertemuan. Memastikan dan sedikit rindu menjadi alasan untuk tidak mengidahkan genangan air hujan, licinya jalan, dan kejadian-kejadian yang tidak dinginkan.


Dibayangan cuman ada gambaran senyuman, gelak tawa diisi diskusi, dan semua hal yang dirasakan. Tidak membutuhkan satu jam perjalanan, hanya membutuhkan sekitar lima belas menit sudah di sekitar rumah. Sebelum sampai di rumah, aku menuju ke pangkalan penjualan roti bakar. Penjualnya bapak beruban dengan suara datar dan sedikit serak ketika berbicara. Saat aku datang terlihat senyum lebar dan mata berbinar-binar, mungkin dalam hati berkata, akhirnya ada pendapatan untuk dibawa pulang. Dugaku hujan menjadi penghalan, ditambah peraturan jam malam terus-terus diperpanjang oleh pemilik kebijakan. Sudah beberapa kali membeli di Pak Musa, menjadi langganan ketika malam-malam sudah beranjak petang dari lalu-lalang manusia saat siang.


“PPKM sebetulnya baik mas, tapi harus memikirkan pedagang seperti kita ini. Kalau tidak berjualan satu malam saja, alamat tiga hari harus mengatur uang belanja serapi mungkin. Apalagi peraturan jam malam, pendapatan tidak dapat dipikiran. Iya uang belanja yang seharusnya bisa digunakan tiga hari menjadi satu minggu,” tutur Pak Musa sambil membakar roti, terkadang diberikan pelumas dan cokelat.


“Iya Pak, peraturan ini jika terus diperpanjang, bagaimana nasib pedagang seperti kita ini Pak. Masih mending orang yang punya tabungan atau simpanan, yang pasti beban sedikit berkurang atau uang makan masih dalam kondisi aman-aman saja,” balasku sambil melihat asap mengepul diatas penggorengan. Pembakaran roti, tidak menggunakan wajan, tetapi sejenis besi atau seng yang dilumuri minyak. Tidak terlalu banyak asap yang timbul, hanya ketika roti sudah sedikit kecokelatan.


“Mas semoga tak ada perpajangan atau level-level lagi.” kata Pak Musa sedikit sendu dan sesekali melihat gerimis mengenai gerobaknya. Dari intonasinya, Pak Musa sudah tidak ingin ada perpajangan pembatasan jam malam lagi.


Saat menunggu proses pembakaran roti, tiba-tiba hujan kembali turun, rintik yang dulunya sedikit, lambat laun semakin banyak dan berjatuhan. Lagi-lagi ketika selesai pembakaran roti, malam semakin beranjak, sejak detak jam menunjukkan pukul sembilan kurang. Pasti kakakku sudah waktunya rebahan, memejamkan mata untuk besok dengan kehidupan yang baru. Tetapi hujan ternyata semakin berkurang, petanda harus cepat-cepat pulang dan berkirim pesan, kalau aku membawa roti bakar dengan balutan cokelat hitam.


###


Basah kuyup istilah yang aku dapati dalam pembelajaran bahasa Indonesia, saat masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Air hujan ternyata membasahi rambut dan beberapa bagian badan, kalau pakian jangan ditanya, sudah barang pasti basah. Aku cepat-cepat mengguyur sekujur tubuh dengan air dingin, karena tak ada cerita mandi dengan air hangat selama di perantaun. Cukup menjadi angan, kalau ingin mandi air hangat ketika kehujanan, masih mending kamar mandinya airnya nyaman untuk membersihkan kotoran dari tubuh setiap hari.


“Mas Rizki udah tidur ta?” tanyaku lewat kiriman pesan. Habis mandi memang sengaja cepat-cepat bertanya kabar untuk mengunjunginya. Butuh sepuluh menit untuk membalas pesanku, itupun sudah melakukan panggilan sekitar empat kali panggilan keluar. 


“Aku mau tidur,” balasnya singkat, menandakan tidak mau dinganggu untuk malam ini.


“Udar tidur Kak. Padahal aku beli roti bakar Kak. Aku ke kamar Kakak iya?” balasku dengan rasa kecewa. Aku kirim foto roti bakar yang dibungkus rapi plastik warna hitam.


“Buat besok ajaa deh. Aku habis keluar kehujanan. Mau tidur aja,” balas Kak Rizki dengan jelas tidak mau digangu gugat malam ini.


“Besok pagi aja. Pasti rotinya masih enak kok kalau dimakan besok," tutup pesan Kak Rizki. Aku pun kembali mengingat-ingat perjalanan pulang dari tempat kerja kehujanan. Tetapi tidak baik memaksakan orang lain demi keinginan sediri. Alasan sederhananya, ingin bersama Kak Rizki yang sedang dirundung beberapa permasalahan. 

Posting Komentar

0 Komentar