Perpustakaan Medayu Agung Surabaya: Naskah Asli “Bumi Manusia” dan Rekam Jejak Panjangnya

Dok|Faiz
Foto bersama dengan Pak Wi di halaman belakang Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.

Dok|Pribadi
Tampak dari depan Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.

Sebagai salah satu korban keganasan kepemerintahan Orde Baru, Oei Hiem Hwie merawat Perpustakaan Medayu Agung Surabaya dengan salah satu alasan, untuk kekayaan generasi muda bangsa Indonesia.


Tepat pukul 10:30 WIB aku sampai di Yayasan Medayu Agung Surabaya atau disingkat YAMAS. Sejak 1 desember tahun 2021 diremsikan dengan dua lantai berornament cat berwarna putih dan kuning. Perpustakaan Medayu Agung Surabaya berdiri kokoh diantara koplek perumahan warga sekitar, tetulis dengan warna biru “Perpustakaan Medayu Agung Surabaya” dengan lambang burung hantu.

Dok| Faiz
Ruangan pertama untuk mengisi daftar hadir dan beberapa koleksi benda bersejarah.

Melihat langit sedikit mendung aku cepat-cepat bergegas memasuki halam perpustakaan, lebih tepatnya rumah yang tidak terlalu besar, tiga sepeda motor matic terparkir, milik pegawai dan mahasiswa yang sedang melakukan wawancara tentang Perpustakaan Medayu Agung Surabaya. Setelah mencuci tangan dan melepas jaket warna abu-abuku, aku memasuki ruang depan dan mengisi daftar hadir di Perpustakaan Medayu. 


 “Dalam rangka keperluan wawancara iya mas,” suara menyapa dari belakang.


Sontak aku menolah, ternyata laki-laki dengan baju sederhana berwarna putih tulang. Aku perhatikan laki-laki dengan rambut sudah beruban dan berjalan dengan pelan-pelan, terlihat sudah memasuki usia senja. Aku tatap kembali ke sumber suara tadi, dan membalasnya sederhana.


“Tidak Pak, aku hanya mau lihat-lihat koleksi perpustakaan di sini,” tuturku sederhana. 


Setelah mengisi daftar hadir, aku dan temanku diajak ke ruang sebelahnya. Aku duduk di bangku yang berjumlah tiga, satunya bangku panjang. Mataku tidak memberikan jeda terpenjam, koleksi foto-foto yang terpampang membuatku semakin terhipnotis. Lebih-lebih beberepa koleksi benda-benda dari berbagai negara dan daerah-daerah Indonesia tersusun dan tertata rapi di dalam lemari kaca.


Terlebih lagi, foto-foto orang-orang besar terpampang jelas dan besar dengan mata telanjang bisa diraba dan dilihat jelas sekali. Di setiap foto-foto ada keterangan tahun berapa dan dengan siapa foto tersebut. Tanpa aku sadari, aku sedikit tidak fokus terhadap ucapakan Oei Hiem Hwie atau lebih akrab dipanggil Pak Wi.


“Di sini banyak buku-buku terlarang pada masa Orde Baru. Juga ada naskah asli buku tetralogi Pulau Buru,” tutur Pak Wi sambil mengeluh, kalau kondisi salah satu badannya sakit dan sudah tidak kuat untuk duduk terlalu lama.


 “Waktu Pram bebas dari hukuman pembuangan di Pulau Buru, saat berada di Jakarta aku memberi naskah asli buku Bumi Manusia, tetapi Pram tidak mau. Pram meminta foto kopinya, agar yang dibakar oleh pemerintah bukan aslinya,” tambah Pak Wi dengan semangat sambil memperbaiki posisi masker warna birunya.


Di usia yang sudah menunjukkan angka 85 lima, Pak Wi menceritakan kalau dulu buku-buku dan arsip-arsip penting banyak terbakar, karena pemerintah Indonesia menuduh orang yang dekat dengan Soekarno dan memiliki pemahaman-pemahaman yang terlarang pada masa Orde Baru. Sehingga ia harus menjadi tahanan pembuanagn di Pulau Buru. Sedangkan beberapa nasib buku-bukunya, yang dikoleksi sejak remaja dan warisan kakeknya terselematkan oleh adik kandungnya.


Mata dan telingaku tidak henti-hentinya memperhatikan dan melihat gerak-gerik dan suara yang keluar dari Pak Wi. Semacam perpustakaan berjalan, ditambah profesinya dahulu sebagai wartawan di koran “Trompet Masyarakat”, membuat semakin kagung atas perjalanan hidupnya. Ingatan Pak Wi sangat kuat sekali, dari setiap buku-buku, koran, majalah dan benda-benda sejarah masih ingat satu-satu ceritanya.

Dok|Pribadi
Foto-foto koran pada masa Orde Baru.

Di benakku terlitas, kalau cerita-cerita Pak Wi dalam menyelamatkan dokumen-dokumen ini nyawa adalah taruhannya. Tetapi berkat dari petuah-petuah kakeknya, untuk selalu menjaga dan merawat buku-buku dan koleksi lainnya. Tidak kalah penting, dari alasan besarnya adalah tindakan Pak Wi adalah untuk kebutuhan masa depan bangsa ini atau sejarah Indonesia.


Pertama-tama aku dibawa keruangan yang berjejer buku-buku berbasa Belanda. Buku-buku yang aromanya sangat amat tercium dan terlihat menguning warnanya. Ada buku Karl Marx “Das Kapitas” dan buku-buku yang rata-rata berbasa Belanda dan berbahasa Inggris. Dari ribuan lemari kaca yang tersusun rapi, ternyata masih ada di atas lemari buku-buku tebal-tebal sekali dengan jumlah halaman yang banyak.

Dok|Pribadi
Naskah Bumi Manusia dalam cetakan pertama.

Dok|Pribadi
Naskah asli tulisan tangan Pram buku Bumi Manusia

Untuk pertama kalinya dan seumur hidupku aku melihat naskah asli buku “Bumi Manusia” masih telihat jelas tulisan tangan Pram dan buku cetakan pertama “Bumi manusia”. Selain itu juga banyak buku-buku lama dan beberapa foto Pak Wi dengan Pram beserta istrinya. Foto pertama Pak Wi dan Pram setelah bebas dari pengasingan Pulau Buru tahun 1980, satunya lagi Pak Wi dan Pram bersama teman-temannya di perbatasan antara UNITR II Wana Reja dan Mako Inrehab tahun 1976, dan tak kalah berwibawanya Pak Wi dan Pram di kamar kerjanya saat di Pulau Buru tahun 1976. 

Dok|Pribadi
Pak Wi, Pram dan istri Pram di Jakarta.

Aku kira hanya ada buku-buku karya Pram saja, ternyata Perpustakaan Medayu Agung Surabaya adalah Indonesia zaman dahulu. Banyak buku-buku tentang Pak Sukarno, Gusdur, Tionghoa, dan banyak lagi. Bahkan aku diceritakan langsung sambil membuka dokumen arsip kliping tentang Pram oleh Pak Wi, merasa sangat amat istimewa diperlakukan sedemikian rupa. Dari koran yang tentang Pram, Soe Hok Gie, dan Saleh Said, menolaknya RP 1 Miliar demi sejarah Indonesia dan banyak lagi tersimpan rapi untuk dibaca secara umum oleh siapapun.

Dok|Faiz
Alat cetak buku pada masa 90-an.

Dok|Pribadi
Alat untuk menjilid dan mengamankan naskah-naskah Pram.

Setelah lama menjelajahi lantai dua dengan koran-korang lengkap dan Perpustakaan Medayu Agung Surabaya mendapatkan Piagam Penghargaan Museum Rekor Dunia serta melihat sertifikat tertata rapi dari berbagai acara dan dari luar negeri. Sebelum pulang, aku diajak kebelakang perpustakaan dan ditunjukkan semen cor sebagai alat press dan pengamanan naskah Pram dan mesin cetak stencil pada masa perjuangan, yang dibuat pada tahun 50-an dan 60-an.

Posting Komentar

0 Komentar